Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pemilu 2014 dan Mahasiswa [Bagian 1]

1 Februari 2014   11:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: toonclips.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="(ilustrasi: toonclips.com)"][/caption] Tahun politik yang kian memanas rupanya menjadikan lini pemerintahan semakin menghangat. Semua parpol dan Caleg dan Capres seakan sibuk sendiri. Semua mencoba menyasar semua ranah pemilih. Dari kota sampai desa, semua tidak luput. Dari yang berdasi sampai yang sibuk dengan membajak sawah, semua serasa ingin direngkuh. Saat semua gemuruh mendulang suara dari Parpol ditabuh. Lamat-lamat, sebenarnya mahasiswa melihat betapa skeptis dan antipati terhadap Pemilu. Bagi kebanyakan mahasiswa, kuliah atau skripsi tentunya adalah prioritas fikir saat ini. Belum lagi memenuhi tanggung jawab sebagai seorang anak, meraih nilai baik pada saat UTS atau UAS saja sudah melelahkan. Kewajiban akademis dan non-akademis kampus tentunya membuat mayoritas mahasiswa acuh terhadap Pemilu 2014. Acuhnya mahasiswa tidak karena tidak tahu. Namun lebih karena tidak perduli. Mereka tahu, dan mengamati berita yang ada. Namun yang menarik buat mereka saat ini adalah dirinya sendiri. Sesuatu yang baru dan menarik buat diri mereka adalah pusat perhatian mereka. Fashion terbaru, gadget teranyar, band K-Pop merilis album baru, atau kabar bully trending di Twitter atau Instagram akan lebih klik dan dikritisi mahasiswa. Jauh daripada menelaah berita menghangatnya politik Indonesia. Urusan Politik Itu Kolot Itulah kiranya ungkapan yang mampu mewakili presumsi pemilih kalangan mahasiswa. Politik yang penuh dan intrik, selalu memenuhi media massa. Bukan membuat mahasiswa semakin concern. Sebaliknya mereka lebih memilih sebagai penonton pasif. Apalagi saat wajah-wajah Caleg dan Capres yang sering nongol di media dan baliho besar-besar pinggir jalan, malah kiranya membuat kesan poitik itu kolot. Urusan pemerintahan dan kepedulian terhadap jalannya negara ini, cukup orang-orang tua disana yang mengurusi. Mahasiswa cukup menonton dan diam. Keikutsertaan dan kepedulian ditingkat mahasiswa cukup rendah. Pendidikan Kewarganegaraan yang diemban dan dipelajari sejak bangku sekolah dan kuliah, lebih condong menghafal dan mengetahui. Tanpa perlu repot-repot mengkritisi, di bangku kuliah pun, mata kuliah Kewarganegaraan hanya 2-3 SKS. Dan kritisi pada materinya pun terkesan umum dan jika mendalam pun itu dari dosennya. Melihat keikutsertaan dalam Pemilwa memilih ketua BEM saja, ditempat saya mengajar sangat minim pemilihnya. TPS yang disediakan di tempat-tempat strategis, hanya dilewati mahasiswa yang berlalu-lalang sibuk kuliah. Keikutsertaan pemilih lagi-lagi hanya dari anggota Organisasi Mahasiswa Prodi atau UKM. Itupun kadang yang mencoblos, adalah yang kenal dengan panitia TPS Pemilwa kampus. Yang saya lihat, minat terhadap dunia politik mahasiswa turun terutama setelah Reformasi 1997. Dimana pada masa tersebut, mahasiswa seperti ramai dan masif menggerakkan pelengseran Soeharto, kini buram hilang. Spirit perlawanan dan opisisi terhadap politik pemerintahan tidak lagi tumbuh. Mahasiswa seperti dikerdilkan paska Reformasi. Mereka seperti gagap kebebasan dan terhanyut dalam euforia Reformasi. Menduduki gedung DPR dan melengserkan mahasiswa sepertinya menjadi klimaks mahasiswa turut dunia politik. Kini mereka mengalami anti-klimaks. Lelah bergembira dan terhanyut serbuan serba hedonis paska Reformasi. Mahasiswa ramai jika diundang acara joget atau menghadiri talkshow. Namun sepi dan sunyi saat memperingati tragedi Trisakti. Walau masih ada sisa-sisa pergerakan mahasiswa mengkritisi pemerintah. Aksi yang biasa diadakan mahasiswa yang tergabung dalam HMI atau IMM atau organisasi 'kekirian' kampus, selalu sedia berdemo. Walaupun cuma 10-20 orang saja. Mereka serasa sudah membela rakyat. Walau mereka kadang ikut-ikutan seniornya. Walau mendapat cibiran mayoritas teman-teman kampusnya, mereka juga ada yang konsisten dengan prinsip mereka berpolitik. Walau dengan hanya aksi demo. Pada akhirnya, tidak mudah merubah persepsi mayoritas mahasiswa terhadap kekolotan dunia politik. Yang tentunya mempengaruhi kepedulian mereka pada Pemilu 2014. Karena mereka melihat semakin porak-porandanya dunia politik Parpol di media, keengganan mereka memilih bisa saja terjadi. Pada satu sisi, mereka memang kritis, namun pada sisi yang lain, karena acuh mereka. Biarlah orang-orang tua itu sibuk sendiri disana. Salam, Solo 01 Februari 2014 11:01 am

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun