[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="(ilustrasi: nydailynews.com)"][/caption] Teringat kisaran dua tahun lalu, pertama kali menulis di Kompasiana. Selesai menulis sebuah artikel opini, tidak ada Kompasianer yang mengomentari. Tunggu beberapa hari, tetap nihil. Ada yang baca artikel saya. Namun selama beberapa jam, tidak ada notifikasi vote, bahkan komentar dari Kompasiner lain. Antara perasaan nrimo dan setengah tidak nrimo, hati jengkel dan coba cuek. Saya fikir, siapa saya juga. Kompasianer ecek-ecek yang baru saja masuk mau-maunya tulisannya diapresiasi Kompasianer senior lain. Beberapa hari jeda menulis di Kompasiana, saya kembali menulis artikel opini. Menulis sana-sini dan ide yang ada di kepala, jadilah satu artikel. Serupa dengan artikel sebelumnya, komentar Kompasianer lain rada seret. Walau ada juga yang berkomentar dan saya balas. Angan mulai bersyak wasangka, ternyata Kompasianer lain sombong dan angkuh. Untuk mem-vote saja suli apalagi memberi komentar. Terbersit hati ingin berhenti menulis iseng di Kompasiana dan kembali ke rutinitas bekerja. Namun, hati mulai berbicara lain lagi. Perspektif dan pandangan baru mulai muncul. Saya mulai berinteraksi dengan Kompasianer lain. Mulai dari mem-vote tulisan Kompasianer sampai memberi komentar dan titip link artikel mulai saya sering lakukan. Mulai pula saya menambah-nambah teman Kompasianer. Mereka yang saya senangi tulisannya, sampai tulisan yang masih satu 'bidang', saya kirimi friend request. Dari waktu ke waktu, interaksi komentar berbuah komentar di artikel yang saya buat. Mungkin, vote atau komentar bukan segalanya untuk penulis blog di Kompasiana. Namun seolah, vote dan komentar adalah rekognisi atas kemampuan kita menulis. Jika yang sudah terbiasa menulis atau memang berprofesi menulis, menulis di sini tanpa komentar akan 'hambar' rasanya. Mungkin pula, saya sebagai penulis ecek-ecek terlalu angkuh mengharap pengakuan atas tulisan saya. Terbersitlah syak wasangka atas keangkuhan Kompasianer lain. Dan ternyata semua itu salah besar. Saya menemui di Kompasiana ini dengan beragam warna pemikiran, kecapakan berliterasi, dan keramahan persahabatan dengan menulis esensi Sharing and Connecting. Saat saya hanya berpaku pada diri (self) atau bergerak sentrifugal, pengakuan sama dengan nol besar. Siapa pula saya. Artis bukan atau penulis handal bukan. Saya hanya orang biasa yang kebetulan senang menulis. Dan semakin saya andap asor, atau sentripetal kepada Kompasianer lain, disitu saya menemukan rekognisi. Bukan rekognisi yang saya ciptakan. Namun karya, sikap dan interaksilah yang membuat saya menjadi seperti sekarang. Dan jauh dari sebuah interaksi saling berkomentar di artikel satu sama lain, ada hal lain yang lebih penting. Persahabatan. Walau banyak Kompasianer yang belum pernah saya ketemu langsung, namun karya tulis mereka dan saling balas komentar menjadikan 'ber-Kompasiana' semakin hangat, nyaman, walau kadang penuh intrik antar Kompasianer. Beberapa Kompasianer sering pula bertemu saat acara Nangkring. Dan, mereka hangat menyapa dan berinteraksi. Semua bermuara pada satu hilir, menjalin rasa persahabatan dan kekeluargaan. [caption id="" align="aligncenter" width="527" caption="(ilustrasi: weheartit.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H