[caption id="" align="aligncenter" width="457" caption="(ilustrasi: esotericquotes.tumblr.com)"][/caption] Jelang hari pencoblosan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 ini, Caleg dengan segala daya dan upaya mencoba memanjakan rakyat. Mulai dari panggung hiburan yang wah, sampai rela memijati calon pemilih semua dilakukan. Ibarat kata, kalau ada maunya saja, kita dialem. Dan seperti sudah mewabah dan menjadi penyakit, para Caleg yang terpilih menjadi Anggota Legislatif (Aleg) nanti, janji dan obralan proyek pembangunan menjadi omong kosong belaka. Walau saya yakin ada Aleg yang memang mengabdi dan menunaikan janji. Artis sinetron Arzeti Bilbina yang berangkat dari daerah pemilihan Jawa Timur I (Surabaya-Sidoarjo) pun tak ketinggalan. Perempuan cantik itu juga ikut memijat penumpang yang baru turun dari bus jurusan Jember-Surabaya. Penumpang yang ketiban rezeki itu bernama Sholeh. Laki-laki paruh baya ini terkejut karena tiba-tiba Arzeti memijat kakinya yang terasa pegal. "Padahal selama ini saya hanya melihat dia di televisi. Eh, sekarang malah mijeti kaki saya," kata Sholeh sambil tersenyum simpul. (berita: pemilu.tempo.co) Mindset Caleg Yang Sesat Jika saja dapat diandaikan masyarakat adalah individu yang harus dirayu dan dimanja agar pilihan jatuh ke Caleg bersangkutan. Mulai dari memberi uang yang dianggap 'sedekah', sampai memijat adalah caranya. Kampanye yang dianggap merakyat dan mengena. Namun pada dasarnya kurang cerdas. Walau Caleg dalam berkampanye tahu dan yakin masyarakat tidak bodoh. Namun cara-cara mereka berkampanye dilakukan dengan cara yang memang menyentuh sisi basic need. Mulai dari memberi 'sedekah' sampai memijat adalah cara yang paling dasar memasarkan. Yaitu menyentuh sisi kebutuhan dasar. Walau jatuhnya menjadi seperti memanjakan, namun itulah mereka. Cara-cara yang sebagian masyarakat kurang simpatik dan murahan. Istilah saya 'memasarkan' citra yang diaplikasikan Caleg sangatlah sederhana dan cenderung tidak cerdas. Mengobral janji adalah dasarnya. Apalagi baliho yang dipasang sepanjang jalan protokol. Menjadikan sampah visual semakin besar, apalagi sampah fisik. Caleg akan lebih dianggap cerdas dan cocok diangkat menjadi wakil dari para pemilihnya, jika kampanye dilakukan jauh sebelum dia mencalonkan diri. Memberikan sumbangsih yang dapat dimaintan dan bermanfaat banyak. Misalnya mendirikan posko relawan mengajar anak jalanan. Memberikan pendidikan ketrampilan gratis bagi mereka yang mampu. Membuat turbin sederhana pembangkit listrik untuk desa terpencil, dll. Semua hal, yang saya fikir lebih cerdas dan simpatik. Selain memberikan imbas citra yang mengabdi dan merakyat. Caleg seperti ini tidak akan membutuhkan lagi masa kampanye. Jika pemilih di tingkat propinsi saja, tahu siapa tokoh Caleg yang selalu mau mengabdi dan merakyat. Namun sayangnya, pola fikir Caleg saat ini malah sesat. Mereka dikatakan mengabdi dan merakyat, malah ketika menjabat dan memiliki kuasa. Sehingga segala daya, baik moriil maupun materil semua jor-joran dilakukan. Duit yang digelontorkan tidak sedikit. Ratusan juta bahkan sampai puluhan miliar. Semua demi memoles citra diri sebagai wakil rakyat yang 'nanti' akan mengabdi dan merakyat. Coba duit milyaran dan sumbangsih moriil dan materil ini, digunakan sebaik mungkin, jauh sebelum ia mencalonkan diri menjadi Caleg. Sehingga pola-pola 'bertaruh' untung-untungan dengan rela menggelontorkan uang, fikiran dan tenaga menjadi beban setelah menjabat. Dikhawatirkan, ketika Caleg menjadi Aleg ada yang perlu diraih kembali, modal saat kampanye. Akhirnya semua jalan ditempuh. Tipu-tipu proyek atau menggelapkan atau mencuci uang APBN/APBD pun dilakukan. Caleg yang jor-joran menghabiskan miliaran saja, pasti ingin cepat uang milyaran itu kembali. Atau bahkan beranak-pinak (dengan cara yang culas), setidaknya dalam 5 tahun ia menjabat. Imaji Suara Hati Kami, Para Grassroot Berhentilah membodohi kami para pemilih dengan polesan citra dan sumbangsih semu kalian, para Caleg. Kami memang butuh uang dan sembako. Kami pun butuh perhatian dari kalian. Namun semua kebutuhan dasar kami, janganlah dijadikan senjata kalian merayu demi suara kami. Kami sebenarnya sudah tahu ini salah. Namun kondisi politik dan pemerintahan yang seperti berjalan ditempat, menjaikan kami seperti tidak ada pilihan lain. Ekonomi kami memang naik, namun perekonomian negara melangit. Pendidikan kami pun beranjak baik, namun seperti jauh tertinggal bahkan dari negara tetangga. Apakah kalian sengaja membuat kondisi seperti ini? Agar kami terus dibodohi. Entahlah. Salam, Solo 22 Maret 2014 11:25 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H