Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pada Akhirnya Bukan Rakyat yang Menang

2 April 2014   04:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:12 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: clarissasnepplin.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="254" caption="(ilustrasi: clarissasnepplin.blogspot.com)"][/caption] Pemilu, baik versi legislatif dan versi presiden semua mengacu pada satu titik kulminasi. Titik kemenangan. Bukan kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Namun kemenangan semu partai politik. Pada akhirnya nanti, yang menang adalah partai yang mendapat banyak surat suara. Entah hasil manipulasi atau penggiringan Quick Count, semua mengacu pada banyaknya surat suara. Dan yang memberikan surat suara ini adalah rakyat tentunya. Rakyat yang serupa pijakan-pijakan para petinggi partai untuk mencapai kekuasaan. Kepala-kepala rakyat adalah undak-undakan tempat para petinggi partai dan Calegnya mencapai kursi empuk 'wakil rakyat'. Kemenangan semu ini adalah yang selalu ingin diraih parpol. Dengan iming-iming banalitas kesejahteraan di semua aspek kehidupan, rakyat diperkosa memberikan suaranya. Rakyat tidak dibodohi. Karena rakyat sejatinya sudah cerdas Namun lebih dimanipulasi keinginan untuk sejahtera. Keinginan yang sengaja terus diulur-ulur oleh mereka yang berkuasa saat ini. Yaitu para petinggi parpol dan dewan yang katanya wakil rakyat. Kondisi non-sejahtera yang memang sengaja tercipta. Agar di Pemilu nanti, esok, lima tahun atau berpuluh-puluh tahun ke depan, ambang mimpi sejahtera adalah senjata ampuh pemancing suara rakyat. Sejahtera adalah semu di negri gemah ripah loh jinawi ini. Sejahtera adalah kiasan dan slapstik pengumbar hasrat para pemilih. Semua demi satu tujuan kemenangan parpol semata. Rakyat yang selalu bermimpi sejahtera, adalah lumbung suara bagi mereka. Semua amunisi propaganda penggiring pemilih untuk memilih dikeluarkan. Mulai dari curi-curi waktu kampanye. Sampai memboyong nama tokoh-tokoh panutan rakyat pun tak luput menjadi senjata kampanye parpol. Mulai dari membagi-bagikan uang, sembako, pengobatan gratis dan segala tipu upaya menarik simpati mereka gunakan. Semua demi satu tujuan. Memperoleh dukungan suara dari rakyat. Rakyat diberikan placebo kepalsuan dengan iming-iming suasana yang 'pra-sejahtera'. Bukan negara ini yang sejahtera, namun parpol. Berpuluh miliar sampai triliunan rupiah digelontorkan. Semua demi memberi suntikan placebo penggembira hati rakyat. Hati yang kering akan sumbangsih petinggi negri ini. Di masa kampanye, semua memberi dan semua berdonasi. Semua petinggi parpol dan wakil rakyat pertahana serupa dermawan yang berubah dalam satu malam. Sifat mereka perduli dan mengayomi. Dan, ini terjadi saat mereka ada maunya. Secara halus dan subliminal, para perayu suara dari parpol seolah menodongkan pistol ke arah kepala rakyat. Mereka menodong dengan sangat halus, sampai rakyat lupa kalau mereka cerdas. Rupa para penodong ini sangat ramah dan halus. Tapi, hanya saat kampanye sebelum pemilu saja. Setelah mereka merampas suara dari rakyat dan menjabat. Persetan dengan rakyat. Uang dan tenaga yang terbuang saat kampanye haruslah kembali ke kantong mereka para wakil rakyat. Datang rapat dan memikirkan kesejahteraan rakyat nanti saja. Ikut nimbrung tanda tangan adalah yang utama. Atau saat hadir pun, mereka lebih memilih tidur dan bersendau gurau. Kalau tidak ada teman berceloteh riang, buka saja situs-situs yang bikin tegang. Dan saat tensi dan tekanan memikirkan rakyat sudah tinggi. Mereka buat saja studi banding ke negara eksotik. Alih-alih mengunjungi dan berdiskusi dengan pejabat disana. Pilih utak-atik bikini atau shopping duit yang sudah rakyat beri. Akhir dari titik kulminasi Pemilu adalah merampas kembali uang, tenaga yang tersia buat koar-koar membujuk rakyat. Dan pada prosesnya, pra-kondisi sejahtera adalah cita-cita mereka yang menduduki kursi kepemimpinan negri ini. Jangan sampai negri ini sejahtera. Jika sejahtera, rakyat akan semakin cerdas. Ketika semakin cerdas, pemilih mereka akan semakin berkurang. Ketika pemilih mereka berkurang, hilanglah mata pencaharian parpol. Lihat saja nanti, setelah hingar-bingar pemilu usai. Yang tersisa adalah wajah-wajah layu dan lesu menatap para pemimpin yan mereka pilih dulu. Janji bagi para penodong suara rakyat ini tidak syah adanya. Karena janji-janji selama kampanye tidak ditulis hitam diatas putih. Tidak ada undang-undang atau hukum yang akan menjebloskan orang yang tidak tepat janji. Dan harap kami, rakyat cukup sederhana. Kesejahteraan yang nyata. Tidak semu atau placebo intuitif. Sejahtera tidak lagi dijadikan pra-kondisi. Hanya sebagai bahan bualan omong kalian petinggi dan Caleg parpol diwaktu kampanye. Bukan pula sejahtera itu serupa intuisi placebo saja. Hanya nampak sejahtera parpolnya, bukan negaranya. Sebuah imaji sesat yang memang kalian sengaja cipta demi surat suara kami. Rakyat Indonesia. Salam, Solo 01 April 2014 08:29 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun