Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Risih Dengan Istilah "Pemenang Pemilu"

9 April 2014   04:03 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:53 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: political-geometry.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="(ilustrasi: political-geometry.blogspot.com)"][/caption] Kesan yang timbul dari istilah 'Pemenang Pemilu' untuk esok hari membuat saya agak risih. Seolah-olah Pemilu adalah kompetisi antar parpol untuk memenangkan sesuatu. Kemenangan ini untuk apa? Bahkan, kemenangan itu untuk siapa? Lalu jika ada yang 'menang', berarti ada yang kalah. Ada yang menjadi pecundang akibat Parpolnya memperoleh suara yang tidak banyak. Lalu untuk apa jika sudah menang? Berpesta pora dan berkonvoi di jalan serupa tim sepakbola yang juara Liga misalnya? Pada akhirnya, untuk siapa kemenangan ini dipersembahkan? Untuk Parpol atau rakyat. Hasil Quick Count (QC) yang mulai marathon disiarkan esok siang menjadi sebuah masa yang menegangkan. Berita dipenuhi angka dan statistik perkiraan. Penonton diajak memelototi layar televisi untuk melihat kira-kira Parpol mana yang 'menang'. Serupa menonton pacuan kuda. Ada kesan perlombaan dari sejumlah Parpol mendapat posisi teratas. Posisi yang menentukan jumlah legitimasi kursi Caleg DPD/DPRD/DPR untuk periode 2014-2019 nanti. Caleg-caleg Parpol yang adalah adalah kudanya. Surat suara adalah tenaga untuk si kuda. Dan politik uang adalah 'vitamin' untuk tenaga si kuda. Sehingga, Pileg ini seumpama berlomba dan bahkan 'berperang' mendapat kursi kekuasaan. Kursi yang seharusnya menjadi beban. Toh dengan istilah 'Pemenang Pemilu' nanti menjadi rancu secara substantif. Kursi yang ada bukan menjadikan seorang takut untuk tidak dibebani amanah dan tanggung jawab. Kini bertransformasi sebagai mata pencaharian. Sebagai sarana memperkaya diri, keluarga, handai taulan, rekan dan oknum dan partai. Lalu dimana posisi rakyat. Bisa saja di nomor paling bawah dari prioritas mereka saat menjabat nanti. Lalu dimana posisi rakyat dalam 'Perlombaan Pemenang Pemilu' ini. Seperti contoh pacuan kuda diatas. Rakyat dengan suaranya adalah entitas habis pakai dan dapat direproduksi kembali. Setelah suara dari rakyat didapat. Masa bodohlah energi yang terbuang. Toh energi ini bisa dibuat lagi di masa datang. Kuda pacuan yang sudah istirahat, bisa memulihkan tenaga setelah menang nanti. Suara rakyat mudah saja dilupakan jasanya. Toh di pemilu depan, lima tahun lagi, suara rakyat bisa dikumpulkan kembali. Semua kembali kepada kepentingan 'memenangkan pemilu'. Masa istirahat menghimpun tenaga adalah masa menguras momen parpol berkuasa. Sebisa mungkin uang rakya yang ada dikumpulkan dan dirampok dengan halus. Hitung-hitung sebagai 'vitamin' (baca: politik uang dan biaya politik) untuk lima tahun lagi. Untuk 2019 nanti. Dan tidak heran kita, jika para 'Pemenang Pemilu' ini berfoya-foya atas kemenangan yang sudah didapat. Seperti Partai Demokrat yang memenangi banyak kursi, bahkan Presiden. Mereka merampok dan berfoya-foya dengan kroni-kroninya. Tidak ketinggalan Parpol lain. Yang saya yakin banyak dari kita yang tahu berita di media tentang mereka. Lalu, apa istilah yang dianggap lebih lumrah dan mumpuni. Menggantikan istilah 'Pemenang Ppemilu' mudah saja. Ganti saja dengan 'Parpol Yang Terpilih' misalnya. Karena dengan terpilih, sudah pasti yang terbaik dari banyak pilihan lain. Seperti contohnya jargon Jose Maurinho sang pelatih Chelsea saat ini. Ia dijuluki The Chosen One atau Yang Terpilih. Dari sini berangkat pemahaman, bahwasanya banyak sekali pelatih klub sepakbola di dunia ini. Namun hanya satu 'Yang Terpilih'. Memang ada beberapa pemberitaan media yang menggunakan istilah 'Parpol Pilihan Rakyat'. Namun ini masih sangat general. Semua parpol memang untuk dipilih. Dan tidak terkesan ada yang terbaik atau banyak dipilih oleh rakyat. Lebih lagi, imbuhan ter- pada kata 'Terpilih' mewakili sifat superlatif. Seperti kata tersayang yang berarti paling disayang. Sehingga, agak aneh untuk menggunakan istilah Parpol Pilihan Rakyat. Anda juga tertarik membaca artikel saya:

Salam, Solo 08 Maret 2014 08:51 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun