[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="(ilustrasi: timeshighereducation.co.uk)"][/caption] Setelah PDI-P 'yakin' dengan hasil QC yang umum memberitakan bahwa partainya 'menang'. Buru-buru Jokowi mulai 'mendekati' para petinggi parpol dan Capres lain. Gunjang ganjing Cawapres pendamping Jokowi nanti pun akan diumumkan dalam waktu dekat. Guruh gemuruh parpol yang hendak meminang dan dipinang tokoh jagoannya untuk disandingkan dengan Jokowi pun muncul. Poros tengah (jadi-jadian) mulai berkerumun mencoba memberi pesaing yang tangguh melawan Jokowi dan pasangannya. Dan, semua pemberitaan ini seolah membenamkan sosok Jokowi sendiri yang selama ini publik tahu. Seorang yang sederhana dan sabar. Sebagai Gubernur DKI, gaya blusukan Jokowi termasuk yang selalu menjadi sorotan. Seolah tiada lelah dan resah. Ketika ada pihak atau oknum yang senewen dengan Jokowi, hanya ditanggapi sesederhana mungkin. Sosoknya yang seolah menjalani tanggung jawabnya tanpa beban dan keluh, menjadikan Jokowi pemimpin harapan. Tapi tidak secepat ini untuk dicapreskan oleh partainya (baca: lebih tepat oleh Megawati). Kini sosok Jokowi pemimpin mumpuni mulai tenggelam bersama pencapresannya. Mulai dari kesan pencapresan yang seolah terburu dan minim vote getter dari PDI-P. Sampai perolehan yang ndelalah (ternyata, bahasa Jawa) tidak sesuai keinginan PDI-P untuk mendapat ambang Presidential Treshold. Seolah mendorong dan memaksa Jokowi untuk cepat-cepat merangkul kawan. Daripada nanti tidak bisa mencapreskan diri, buru-buru digaet tokoh parpol atau Capres parpol lain. Setidaknya, dalam 'rangkulan' Jokowi, semua bisa berkoalisi. Megawati Dengan Proposisi Latennya Belum genap 2 tahun Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta, kini ia harus berlomba dan berpacu kembali bergerilya. Menyusun strategi dan rencana ke depan untuk mengamankan jumlah aman PT untuk mencapreskan diri. Dengan sokongan penuh Megawati dan PDI-P, Jokowi seolah dipaksa untuk selalu 'menaungi' citra PDI-P. Mulai dari menjadi jurkam kampanye se-Indonesia PDI-P, sampai (akhirnya) menjadi bintang iklan untuk PDI-P dilakoni. Semua untuk meraih suara yang berlimpah dalam Pemilu Legislatif yang sudah lewat. Tapi apa lacur, ternyata jauh panggang daripada api. Cara ini tidak ampuh mendongkrak tinggi suara PDI-P. Sepertinya, Jokowi effect yang diharapkan Megawati harusnya membawa PDI-P mendapat suara pada Pileg diatas 25-30% se-Indonesia. Dan nantinya, Capres plus Cawapres bisa langsung berasal dari PDI-P. Selain agar tidak repot berkoalisi dan bagi-bagi posisi eksektutif presidensial. Jokowi effect yang diharapkan tinggi, mungkin bisa menurut sertakan putrinya, Puan Maharani menjadi Cawapres. Karena suara yang diperoleh sudah memenuhi PT, resiko memasangkan Puan saya kira cukup sedikit. Selama promosi diri Puan baik dan konstituen setia tetap ada. Tentunya di Pilpres nanti (misalnya) perolehan suara tidak akan mengecewakan. Toh jika ada parpol lain berkoalisi, kuatnya Jokowi effect akan tetap memungkinkan Jokowi-Puan lolos. Kenapa harus Puan? Karena impian Megawati yang hendak menguatkan citra dan nama Soekarno di negri dan partainya sendiri, PDI-P. Selain itu, pengajuan Puan menjadi Cawapres menunjukkan 'kuatnya' pengaruh petinggi PDI-P diatas citra kadernya sendiri, Jokowi. Kalau Prabowo menjadi Capres karena beliau adalah Ketum Gerindra, wajar adanya. Namun jika tidak ada pimpinan PDI-P yang maju ke level presidensial, mungkin saja membuat wajah Megawati 'menciut'. Nasi Sudah Menjadi Bubur (Bancakan) Seolah nasi sudah menjadi bubur, kurangnya input suara yang tidak memenuhi PT dari PDI-P, membuat manuver berganti haluan. Koalisi dan bagi-bagi harapan mendapat jatah kursi pun dilakukan. Meminang Cawapres dari parpol lain pun dilakukan. PDI-P dengan para petingginya mulai bergerilya dan menawarkan berjuta kemungkinan jika parpol ini-itu mau berkoalisi. Atau setidaknya dukungan. Jadi seolah-olah tidak berkoalisi namun menganjurkan simpatisan parpolnya untuk memilih Jokowi nanti. Jokowi 'dipaksa' berbaur dengan para pencari kuasa sejati. Para penguasa yang memulai karir memimpin dengan ngimpi, bukan mimpi. Pemimpin minim prestasi dan hanya bisa sekadar berorasi. Pemimpin haus kuasa dengan beragam propaganda pemoles citra. Menampilkan diri 'seolah' satrio piningit negri ini. Pemimpin dengan tameng ideologi, religiusitas, atau bahkan militerisme berambisi menguasai negri ini. Bukan memimpin negri ini. Lunturlah sosok Jokowi yang selama ini ada. Jokowi terus dideru untuk bisa memboyong kursi RI-1 ke hadapan sang ibu, Megawati. Walau suda menjadi bubur, setidaknya bubur itu bisa dinikmati bersama. Jokowi effect tetap akan menggoda petinggi parpola lain atau Capres-Cawapres lain. Konstelasi Cawapres Jokowi akan tetap tidak stabil. Mungkin, ilmu wani piro akan dianut PDI-P agar Jokowi bisa dilamar. Bagi-bagi kursi dan posisi strategis dan 'basah' akan dipilah dan dipilih jika kabinet Jokowi-(?) terbentuk nanti. Semua terjadi dibawa tangan dan di belakang panggung. Sosok Jokowi Dulu Bukan Apa-Apa Sekarang Apa? Pencpresan Jokowi oleh PDI-P (baca: Megawati) serupa mencoba merenggut citra pemimpin yang diinginkan rakyat. Tak ayal, ada beberapa penolakan dari warga Jakarta sendiri saat Jokowi dicalonkan menjadi Capres. Sejatinya tidak ada yang melarang Jokowi menjadi Capres. Hanya saja sangat disayangkan. Seolah pekerjaan satu belum tuntas, bahkan setengah tuntas. Kini sudah mau pindah pekerjaan lain. Walau dalam persepsi sederhana, jika Jokowi berkuasa nanti, Jakarta bisa juga tetap diperbaiki. Namun melihat dan menelisik pola perpolitikan, administrasi, birokrasi plus lobby-lobby yang ada. Menjabat Presiden sembari membenahi Jakarta seolah sulit. Seolah menjalankan sebuah kapal besar sembari mengendarai sampan melaju di sampingnya. Karena Indonesia ini besar dengan problema tiap daerah yang juga cukup kompleks. Jadi sosok Jokowi sekarang menjadi apa? Menjadi Capres sudah tentu. Namun di satu sisi ia bermetamorfosa menjadi sosok idaman para politisi dan petinggi parpol, bukan rakyat. Gema mendukung Jokowi for President hanya riak-riak air. Sedang ombaknya sendiri dimiliki oleh parpol dan petingginya. Memihaknya mereka seolah memihaknya suara simpatisan mereka. Andil besar petinggi parpol dan Capres-Cawapresnya yang ambisius merebut kursi menentukan nasib pemerintahan 5 tahun ke depan. Kini Jokowi harus mau-tidak-mau bersanding dengan apa yan sudah menjadi konvensi para pemilik parpol. Bandingkan saja saat Jokowi bersanding dengan Basuki Cahya Purnama. Orang di Jawa mungkin tidak tahu. Namun prestasi seabrek saat menjabat di Babel menjadikannya pas bersanding dengan Jokowi. Sosok kaya prestasi bersanding dengan sosok kaya prestasi. Okelah. Namun sekarang siapa yang akan disandingkan dengan Jokowi? Rakyat masih menunggu, dan semoga Cawapresnya nanti tidak menghambarkan sosok Jokowi sendiri. Salam, Solo, 14 April 2014 08:09 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H