Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

22 Juli Nanti, Kita Sumringah Atau Semakin 'Gerah'?

11 Juli 2014   17:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:39 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: photobucket.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="441" caption="(ilustrasi: lensaindonesia.com)"][/caption] Ramai, riuh rendah deklarasi masing-masing Capres mewarnai hasil Quick Count (QC). Walau sementara, semua merasa menjadi juara. Ada Capres dengan dukungan Lembaga Survei kredibel cenderung pasif dan melihat apa yang terjadi. Sedang Capres dengan dukungan Lembaga Survei yang diragukan kredibilitasnya, cenderung reaktif. Suasana memang kondusif seperti sedia kala sebelum masa Pileg atau Pilpres 2014. Namun, isi setiap kepala publik 'gerah' dan argumentasi siapa yang menang semakin keras. Setiap pihak saling klaim. Untung saja tiap pihak tidak baku mulut atau malah pukul. Hasil QC bukan bikin sumringah publik, malah menyulut suasana gerah. Lucunya, kini ada Real Count (RC) dari media-media corong Capres. Lebih 'hebatnya' lagi, kedua RC berbasis tabulasi nasional internal tim sukses. Dan gawatnya lagi, seperti menjadi 'propaganda' hasil RC ala Timses ini dipajang besar-besar di setiap tayangan berita corong-corong Capres. Membuat hati dan fikir publik kacau baau dan gelisah. Siapa yang sebenarnya memiliki suara yang banyak. Capres No. 1 atau No. 2? Lebih lagi, hasil RC ala Timses ini semakin mengeruhkan 'kegerahan' suasana Pilpres 2014. Publik semakin bertanya dan berargumentasi. Saat QC kedua Capres tidak mempan, kini RC ala Timses muncul. Gerah semakin gerah mendekati 22 Juli nanti. Tiap Capres meminta pendukungnya mengawal Real Count manual KPU pada 22 Juli nanti. Sebuah kenisbian yang dilontarkan. Jika ada beragam fakta, angka dan statistik dari masing-masing Capres yang menafikan makna pengawalan itu sendiri. Seolah-olah angka dan statistik yang ada ini menghasut dan mengintimidasi. Publik seperti digiring fakta yang kadung menjadi opini. Intinya, publik diminta mengawal RC KPU dengan dasar bahwa kubu kita menang. Karena publik sudah 'dicuci' otaknya dengan data dan statistik QC Lembaga Survei dan RC ala Timses yang dikonsumsi menjelang 22 Juli nanti. Nila Setitik Merusak Susu Sebelanga 8 Lembaga Survei yang dianggap kredibel telah mengumumkan QC masing-masing. Dan hasilnya Jokowi-JK yang menang. Sedanga Lebaga Survei yang publik dan pengamat anggap tidak kredibel, memenangkan Prabowo-Hatta. Lalu kegaduhan media yang digawangi Timses pun terjadi. Buru-buru kedua pasang Capres mendeklarasikan kemenangan. Ada yang menangis bahagia. Adapun yang sampai rela sujud syukur. Semua dilakukan dengan amat sangat tergesa dan menggebu. Seolah publik membaca inilah akumulasi luapan emosi setelah 'perang' Pilpres. Ada kepuasan dan orgasme tersendiri yang menyeruak. Walau akhirnya QC kedua pasang Capres menjadi hambar. Lembaga Survei dengan QC-nya kini menjadi 'hambar' hitungannya. Ada yang bilang karena 4 Lembaga Survei Capres No. 1 yang merusak susu sebelanga. Pseudo-victory (kemenangan semu) pun menjangkiti kubu Capres No. 2. Sampai-sampai Presiden menghimbau kedua pasangan Capres-Cawapres menjaga suasana yang kondusif. Menkopolhukam pun demikian keingiannya. Seolah melihat 'kegerahan' yang terjadi, pihak-pihak pemerintah berkuasa tetap waspada akan Pilpres kali ini. Belum usai demam QC, muncul wabah RC ala Tim Sukses dari kedua pasang Capres-Cawapres. Kegaduhan mungkin tidak 'sefenomenal' hasil QC, namun isi kepala publik serasa mau pecah. Memuntahkan segala gundah dan gerah dalam hal kebebasan politiknya. Menentukan Presiden pilihannya, kenapa serumit dan serepot ini. Pemilih pemula hanya bisa melihat suasana. Walau yakin dalam hatinya, bahwa Capres jagoannya yang menang. Jiwa muda yang bergolak dan pembelajaran politik yang minim. Membuat pemuda adalah sekam yang mudah tersulut api isu dan opini. Pemilih kawak pilih diam dan beragumentasi sendiri. Sembari membimbing pemilih pemula. Atau mungkin memperkeruh suasana? [caption id="" align="aligncenter" width="324" caption="(ilustrasi: photobucket.com)"]

(ilustrasi: photobucket.com)
(ilustrasi: photobucket.com)
[/caption] Menolak Membusuk Jika ada istilah berjuang sampai titik darah penghabisan, maka menolak membusuk lebih superior. Karena tahu sudah habis darahnya dan mati. Namun dalam kematiannya, ia menolak membusuk. Saat salah satu Capres sudah tahu dan faham ia tidak mampu bersaing. Segala cara ia lakukan, bahkan sampai pengumuma RC KPU 22 Juli nanti. Semua hal akan digunakan. Semua orang akan dikerahkan. Operasi terselubung dan operasi senyap akan diluncurkan. Tindak anarki dan saling serang mungkin akan terjadi. Suasana 22 Juli yang semestinya publik bisa sumringah, akan menjadi semakin gerah. Publik tersulut hasil RC KPU yang tidak sesuai keinginan Capres jagoannya. Pendukung salah satu Capres ber-euforia dengan negatif. Menolak dengan kekuatan massa menjadi pilihan. Merusak dan menyerang kantor-kantor terkait Pemilu dirusak. Media digital dan media sosial penuh dengan umpatan dan bully kepada Capres sebelah. Pendukung yang kadung bergembira pada deklarasi menumpahkan kekecewaanya dengan negatif. Suasana 22 Juli yang semestinya publik bisa sumringah, akan menjadi semakin gerah. Demokrasi - Publik Dewasa, Elit Politik Haus Kuasa Saya yakin, walau tidak memahami atau menjunjung tinggi demokrasi, publik mengejawantahkan dengan baik nilai-nilainya. Demokrasi ada dalam budaya dan norma bangsa Indonesia. Hanya dunia barat yang lebih dahulu melabeli demikian. Dan sudah 60 tahun lebih NKRI merdeka, publik kita sudah cukup dewasa berdemokrasi. Semua sudah memahami makna kebebasan dan kesatuan negri ini. Siapa sih orangnya yang mau terkekang tiran atau terdisintegrasi satu sama lain? Hanya elit politik negara ini yang mau demikian. Yang ada dalam fikir dan jenak mereka hanyalah harta, tahta dan juga nyawa. Memiliki harta berarti bisa memiliki kuasa. Jika kuasa itu diusik, maka nyawa mereka terancam. Bertahan hidup atas nama meraih, mempertahankan, atau melebarkan kuasa adalah hal yang wajib dilakukan. Publik hanyalah media dan titian pijakan mereka menjaga dan merengkuh kuasa. Kepala-kepala kita adalah undak-undakan untuk kaki penguasa. Kepicikan dan amoral menutupi pandangan dan hati mereka. Semua demi merengkuh harta dan kuasa. Elit politik rakus dan megalomania telah merusak negara ini. Gabungan cukong, birokrat dan aparat telah menguatkan angkuhnya kuasa mereka. Demokrasi adalah retorika semata untuk publik bisa terapkan di kehidupannya. Buat mereka, demokrasi adalah sejauh mana mereka bisa mengeksploitasi negara ini. Semua demi perut, saudara dan kolega mereka. Hukum adalah senjata yang telah di-impotenkan dihadapan mereka. Demi menjaganya tetap demikian, Pilpres dibuat atas sesuka rekayasa mereka. Pemimpin atau presiden memang berganti. Namun dalangnya adalah mereka yang berkedok timses dan koleganya. Semoga... 22 Juli nanti kita semua bisa sumringah. Hasil RC KPU adalah penawar dari semua racun retorika dan propaganda Capres. Cukuplah membela mati-matian jagoannya. Toh kita semua satu negara dan semua bersaudara. Hentikan kampanye hitam dan saling tuding. Merasa diri dan kelompok paling benar. Sementara demokrasi diberangus terkapar. Media haruslah memberi sejuknya iklim bernegara. Jangan hanya membela kepentingan empunya. Semoga kesejukan dari sumringah kita 22 Juli nanti bisa kita lihat... Aamiin. Salam, Solo 11 Juli 2014 10:24 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun