Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Mengapresiasi, Wajib Dilatih Sejak Dini

1 Agustus 2014   06:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:43 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="(ilustrasi: projecthappiness.org)"][/caption]

Setelah kembali dari pasar dan membeli wayang karton Baladewa, saya segera kembali ke rumah. Putri saya langsung saya tunjukkan wayang tersebut. Wayang ini memang seukuran wayang yang sebenarnya dipentaskan. Kira-kira tingginya 60 cm. Sempat anak saya tersenyum melihat saya dan wayang yang saya bawa.

Namun istri saya langsung mengomentari. ‘Wah, wayangnya kebesaran papa. Ga ada yang lebih kecil’ ujarnya. Putri saya pun langsung menimpali ‘Ga ada yang kecing (kecil) papa?’ Saya pun cuma tersenyum lalu menjawab. ‘Ga ada kalau yang Baladewa, ada yang Limbuk Cangik’ balas saya.

‘Ya udah, nanti minta mbahe aja.’ Ujar istri saya. Kebetulan bapak mertua saya adalah seorang dalang. Ia pun bisa membuat wayang beserta segala perangkat pakelirannya. Dan sampai sekarang memang aktif mendalang. ‘Ya udah, nanti minta dibuatin sama mbah kakung ya?’ ujar saya kepada putri saya. Wayang yang saya beli saya sandarkan ke tembok. Baru beberapa saat kemudian anak saya mau memegang dan memainkannya.

Mungkin ini pengalaman ‘kecewa’ saya kepada anak dan istri. Bukan kepada sosok mereka. Namun kepada cara mereka mengapresiasi, terutama dari istri saya. Yang saya sayangkan adalah hal ini bisa menjadi kebiasaan pada putri saya nantinya. Kurang menghargai atau mengapresiasi ternyata bisa diawali sejak anak masih kecil. Anak saya contohnya. Bukan karena ia tidak bisa mengapresiasi. Namun lebih karena ada yang mencontohkan perilaku kurang mengapresiasi. Dalam hal ini, dicontohkan oleh istri saya.

Mungkin banyak juga contoh-contoh yang saya lihat anak berperilaku demikian. Ada suatu waktu mungkin Anda pernah mengalaminya. Anak atau keponakan yang Anda beri hadiah atau kado malah berkomentar kurang berkenan. Mungkin kita anggap ini suatu kepolosan anak kecil biasa. Namun, dari yang saya fahami, orangtua tau orang di sekitar sang anaklah yang mencontohkan hal demikian. Anak akan cenderung memimikri atau meniru semua gerak-gerik orang-orang disekitarnya. Anak dengan usia 2-5 tahun, bias kita sebut sebagai peniru ulung. Dan perilaku kurang mengapresiasi ini mungkin secara tidak sadar sudah kita contohkan.

Wajar jika anak menjadi pemilih atau picky. Misalnya putri saya, ia meminta dibelikan sepatu karakter Thomas The Tank Engine. Sudah saya bawa muter-muter ke took dan mall yang ada di Solo. Tapi nihil hasilnya. Akhirnya setelah saya bujuk rayu. Pilihan jatuh pada sepatu pink dengan lampu kerlap-kerlip di solnya. Dan ia senang memakainya. Disini anak saya menjadi pemilih. Lain halnya jika ia saya belikan sepatu lain dan berkata tidak ada sepatu Thomas. Saya sudah mengajarkan berbohong. Karena anak saya yakin lebih faham bahasa hati dan wajah orang yang berbohong. (Baca artikel saya. Bohongnya Anak, Diajari dari Kecil Lho )

Sadar atau tidak sadar, anak harus sedini mungkin tidak kita didik menjadi ‘kritikus’ ulung. Dimulai dari kecil, mungkin saja ada hal yang menjadikannya demikian. Mengomentari pemberian dan cenderung tidak menghargainya, mungkin saja kita contohkan. Pemberian duitnya kurang atau kadonya jelek, mungkin terlontar dari ucapan orangtua. Anak pun merekam hal ini. Lalu menjadi wajar dan kenapa ia tidak bisa melakukannya. Di waktu yang lain, tidak heran jika ia menjadi ‘kritikus’ atas semua pemberian yang ia terima. Dan kita, tidak mau dong mendengar anak kita mengomentari pemberian orang tepat di depan orang yang memberi.

Bapak-ibu, papah-mamah, ayah-bunda, abi-umi, yuk bersama berhati-hati berucap di depan anak kita. Apalagi menyangkut perilaku apresiatif. Biasakan mengucap terima kasih atas semua yang diberikan kepadanya. Tidak cuma itu, biasakan berikan apresiasi atas semua yang diberikan. Jika tidak sesuai selera anak, ada baiknya diam dan tidak berkomentar. Jikapun anak berkomentar, pastika kita tidak mengkonfirmasi komentarnya. Karena saya yakin, anak yang dibiasakan menghargai akan lebih bisa menempatkan diri dengan baik. Dalam hal ini, untuk tidak menyinggung si pemberi uang atau hadiah. Dan dampaknya, kita sebagai orangtua akan lebih tenang. Menjaga wajah kita di depan si pemberi. Dan tentunya membuat anak lebih bisa diterima orang lain.

Salam, Solo, 31 Juli 2014 11:25 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun