[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(ilustrasi: fineartamerica.com)"][/caption] Mungkin karena sudah menjadi wataknya yang taktis, Susilo Bambang Yudhoyono selalu ingin menciptakan equilibrium dalam polah politiknya. Sebagai mantan orang nomor 1 di Indonesia selama 10 tahun ke belakang, SBY tetap ingin menancapkan kuat pengaruhnya di Demokrat. Partai yang lekat dengan sosok SBY sendiri, kini ia ciptakan seolah-olah memiliki gejolak. Gede Pasek, yang pernah menjabat Mantan Komisi III dari Partai Demokrat seolah adalah 'boneka' SBY untuk menciptakan gejolak ini. SBY nampaknya tidak ingin Demokrat 'tenang' dalam kancah politik. Ia menganggap perlu adanya gejolak. Dan gejolak ini adalah dinamika menciptakan equilibrium dinamika Demokrat.
"Hitungannya kan jelas, Kalau dari 108 kursi menjadi 61 kursi, berhasil atau tidak? 10 tahun kita punya presiden dan beberapa menteri serta anggota DPR RI tidak juga punya sekretariat, berhasil atau tidak? Kemudian di dalam mengelola partai, puluhan orang di-Plt (pelaksana tugas) tanpa sebab, berhasil atau tidak?" kata Gede Pasek Suardika saat diskusi dengan media, Denpasar, Minggu (21/12/2014). (berita:kompas.com)
Belajar dari Permainan Equlibrium Masa Lalu SBY dan Demokrat Sudah sering saya menyoroti strategi SBY dalam dunia politik. Sepertinya, drama dan tragedi yang muncul sejak 2004, saat SBY menjadi pihak 'terdzolimi' dari pemerintahan Mega, berhasil melambungkan namanya. Menelikung dengan gaya dan pencitraan SBY pada masa itu masih teringat jelas di benak Megawati. Belum lagi Pilpres 2009 yang juga penuh pencitraan apik SBY pada masa itu. Ternyata, 5 tahun kepemimpinannya tetap mampu menyedot antusias publik untuk memilihnya. Entah apa yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif di lini birokratif KPU. Dua nama besar dari Demokrat pada waktu itu melambung tinggi pula. Selain SBY, orang juga tidak pernah lupa nama Anas Urbaningrum (AU). Yang kini AU menjadi pesakitan karena kasus korupsi Hambalang. AU sepertinya adalah korban permainan equilibrium ala SBY. Tidak terima menjadi korban permainan equilibrium ini, AU lalu melawan dengan membentuk PPI atau Perhimpunan Pergerakan Indonesia. Sayangnya, perlawanan AU dengan PPI plus Sri Mulyono nampaknya menemui sebuah maze atau alur berliku yang ujungnya memoles citra apik SBY itu sendiri. Alih-alih menuntut PPI dengan membenturkan Demokrat pimpinannya, ia lebih memilih membenturkan PPI dengan pengacara pribadinya. Dengan kasus Sri Mulyono yang mempersoalkan tulisannya di Kompasiana yang dianggap menebar fitnah. SBY menjadi gagah di dunia maya dengan isu ini. SBY kembali menjadi sosok yang kuat dan taktis dalam pergerakan dinamika politiknya. Jatuhnya, permainan equilibrium atau penyeimbang dinamika politik SBY dengan Demokrat semakin kuat adanya. (Lihat artikel saya: SBY Berhasil Benturkan PPI Dengan Pengacaranya) Jangan lupa pula, publik pun pernah tertarik permainan SBY ini. Publik sempat kecewa dan kecele (tertipu, Jawa) saat kabarnya SBY batal hadir di acara Kick Andy. Sebuah talkshow yang digawangi Andy F. Noya ini selalu penuh dengan kejutan. Selain pertanyaan yang kritis dan menohok, Andy F. Noya sepertinya mewakili isi kepala publik atas satu isu. Dengan momen penting saat Boediono mau tapping di Mata Najwa. Ternyata jadwal tapping SBY dibatalkan. Pembatalan yang terjadi karena ada pertanyaan Andy F. Noya yang 'sensitif'. Sang jubir Presiden berkata, ada pertanyaan yang perlu di-cut karena tidak sesuai dengan protokoler. Publik dibuat bingung dengan hal ini. Namun publik juga terseret permainan equilibrium ala SBY. Gejolak inilah yang akan terus memubuat dinamika politik SBY dengan Demokrat. (Lihat artikel saya, Batal Hadir di Kick Andy, SBY Bunuh Citranya Sendiri) [caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="(foto: thejakartapost.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H