Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bu, Kalau Antri di Belakang, Bukan di Samping

13 Januari 2015   06:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 1564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(foto: nurulfdlyh.blogspot.com)"][/caption] Beberapa hari lalu, saya membayar cicilan ke kantor Pos dekat kampus. Di depan loket untungnya sepi. Saya segera serahkan nomor angsuran dan menunggu petugas kantor Pos mencetak resi pembayarannya. Tiba-tiba ada seorang ibu muncul di samping saya, tepat di depan loket. Sambil clingak-clinguk melihat petugas kantor Pos. Si ibu seolah terburu-buru. Melihat saya 'menutupi' pandangnya, saya tengok si ibu. Si ibu yang kira-kira berusia 40 tahunan ini hanya bisa tersenyum simpul. Untung pula, resi pembayaran saya sudah selesai dicetak. Dan kembalian sudah disiapkan petugas kantor Pos. Saya bergegas dari depan loket untuk si ibu segera menyelesaikan urusannya. Antri kok di samping, bukan di belakang? Keluar dari kantor Pos, pemandangan yang hampir serupa terjadi di depan loket bank. Beberapa mahasiswa 'ngantri' dengan cara memenuhi kiri-kanan loket bank. Bergumul dan berjubel berdesakan puluhan mahasiswa di depan loket, seolah mahasiswa yang sudah 'dewasa' tidak tahu cara mengantri. Mengantri dengan cara di samping sepertinya sudah 'lazim' dalam fikiran orang yang tidak sabaran. Satu melanggar dengan menyela antrian, mungkin yang lain turut serta. Sembari berjalan kembali ke kantor dosen, saya teringat kejadian yang serupa di Jakarta. Waktu itu saya dan putri saya selesai mengantri makanan di salah satu fastfood vendor di TMII. Kebetulan kami menunggu di samping antrian di depan meja layanan. Karena pesanan kami jadi dalam tiga menit. Saya pilih berdiri di samping meja layanan, daripada duduk agar yang datang bisa duduk. Tiba-tiba seorang ibu nyelonong ke samping kami lalu memesan dan pesanannya langsung dibuat. Lalu ada beberapa orang yang ikut mengantri di belakang si ibu ini. Seorang yang mengantri lama lalu protes dan meminta antrian dibenahi kembali. Si pelayan pun bingung dan orang-orang yang sudah ikut ngantri di samping, malu-malu mereka mundur mengantri dari belakang kembali. Mental Tidak Sabar dan Egosentrisme Akut Tidak saja saat kita mengantri dengan berdiri. Saat berkendara dan dalam kondisi macet pun, masih ada yang nekat 'nyodok' arus berlawanan. Semua tak lain mencerminkan mental tidak sabar. Dan memuaskan hasrat egosentrisme yang akut. Mereka inilah orang-orang yang tidak ingin memahami suasana yang ada. Saat semua sabar mengantri, emosi mereka mudah tersulut. Mereka bersumbu pendek alias tidak sabaran. Maunya cepat dan praktis. Walau tidak sadar, merekalah yang membuat semuanya menjadi lama dan rumit. Mental tidak sabar mereka mudah sekali menyebar. Jika satu tersulut, maka sumbu-sumbu pendek yang lain pun tersulut. Ditambah, egosentrisme akut yang tidak menghormati sesama. Sama-sama antri dan dalam kondisi macet, ingin cepat tidaklah mungkin. Lalu mengantri lewat samping atau menyela pengantri yang lain pun dilakukan. Semua agar dirinya bisa cepat dilayani. Tidak sama sekali memikirkan mereka yang sudah antri lama. Tidak pula terbersit betapa kesabaran pengantri yang sudah lama, tersia percuma. Semua karena egosentrisme diri yang akut. Perduli amat dengan urusan dan derita orang lain. Selama yang diingini tercapai cepat dan tak perlu repot antri. Itu yang mereka lakukan. Adakah terbersit malu buat mereka yang mengantri di samping, bukan di belakang? Atau nurani mereka sudah begitu bebal, bahkan untuk bisa berempati? Salam, Solo, 12 Januari 2015 11:20 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun