[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="(Jumi - ilustrasi: jumijumi.com)"][/caption] Sebuah peristiwa tragis yang kembali mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Lintang, 13 tahun seorang siswa SMP N 1 Palasah Majalengka meninggal dunia setelah dihukum gurunya. Guru Bahasa Indonesia berinisial W mendapati kecewa karena banyak siswanya yang tidak mengerjakan PR. Sehingga, alih-alih melanjutkan pelajaran guru W ini menghukum siswanya yang tidak mengerjakan PR. Hukumannya adalah berlari keliling lapangan 15 kali untuk putra dan 10 kali untuk putri. Namun, baru 2 putaran, Lintang jatuh pingsan. Sempat dilarikan ke Puskesmas dalam keadaan koma. Namun nyawa Lintang tidak tertolong dan akhirnya meninggal dunia.
"Saat datang ke Puskesmas, dia (korban) sudah dalam kondisi koma. Tim medis mengusahakan pertolongan pertama melalui dokter yang memeriksa kondisi korban yakni dr Hayatunisa melalui berbagai cara, mulai dari memulihkan kembali detak jantung karena sejak datang juga sudah lemas dan tidak ada denyut nadi," kata Edi (kepala Puskemas) ditemui di ruangannya. (berita: jpnn.com)
Andai Lintang Adalah Anakmu Kekerasan, baik fisik (abuse) maupun seksual (harassment) cukup sering terjadi di dunia pendidikan. Beberapa artikel saya pun pernah membahasnya. Terutama yang bersifat abuse (baca artikel saya Guru Mapel Akidah Paksa Murid Minum Air Liur danMerokok). Atau yang bersifat sexual harassment seperti kasus pencabulan guru ke siswanya yang juga marak. Banyak media yang mengangkat berita kekerasan pada siswa. Mungkin ini pun beberapa yang terendus media. Entah di luar sana, apakah masih ada praktik-praktik guru sebagai peneror siswanya. Berkuasa dibalik gelar 'guru' yang disandangnya untuk mengkatarsis beban hidup dan jiwanya yang kerdil. Atau bersembunyi di balik seragam 'guru' demi memuaskan hasrat seksual terpendam dan penuh imaji yang diluar kewajaran. Guru, bukanlah barbar atau paedofil! Dan berita kematian siswa 13 tahun asal Majalengka ini tentunya kembali menggores gurat ngilu pendidikan di Indonesia. Apalagi terduga pelakunya adalah gurunya sendiri. Dengan alasan tidak mengerjakan PR, siswa dan siswinya diminta lari keliling lapangan. Nalarnya, guru W adalah guru Bahasa Indonesia, kenapa meminta muridnya beraktivitas fisik. Logika sederhananya pun, apa berlari keliling lapangan patut dilakukan. Tanpa pemanasan terlebih dahulu. Belum lagi suasana panas jika kejadiannya siang hari. Atau jika pagi hari, apakah siswa yang dihukum sudah mendapat sarapan cukup. Kalau sudah ada korban sampai meninggal dunia, pasti penyesalan datang. Cobalah guru berfikir panjang dan tidak membuncahkan emosi sesaat dengan sesat. Jikalau, maaf, Lintang adalah anak si guru W, apa yang mau dikatakannya. Dan, tidak ada orangtua yang mau menerima anaknya pulang tinggal nama. Anak putrinya meninggal akibat hukuman karena tidak mengerjakan PR. Betapa hancur remuk redam hati dan perasaan orangtua. Andai guru W adalah orangtua yang anaknya menjadi korban hukuman gurunya di sekolah, apa yang mau ia katakan? Bukan pula berharap karma untuk guru W. Namun, berfikir bahwa siswa itu adalah serupa anak sendiri, itu yang harusnya menjadi dasar guru bertindak tanduk. Guru Penghukum, Jangan Sebut  Ia Guru Guru, atau dalam pepak basa Jawa merupakan blend-sound word yang berarti, diguGu (dipatuhi) dan ditiRu (dicontoh) harus menjadi patokan dasar bertindak. Apa yang mau diperintahkan, pasti murid atau siswa akan mematuhi. Apa yang mau dilakukan, pasti murid atau siswa mencontoh. Dan kata 'guru' dari bahasa Sanskrit yang diwariskan ke dalam bahasa Inggris dengan bentuk yang sama, juga berarti teacher of teacher. Kalau seorang guru (teacher) atau profesional dijuluki Guru of ..., maka ia sudah mencapai tingkat tertinggi. Guru adalah seseorang yang benar-benar tahu apa yang dilakukan dan diucapkan akan berdampak pada siswa atau muridnya. Lalu, bagaimana dengan guru pelaku kekerasan? Ada kepribadian emosionalnya yang mungkin terganggu. Ada trauma masa lalu yang mengendap begitu lama dan keras. Sehingga jika tersulut satu kejadian yang menjadikan guru tersebut marah. Maka muncullah kekerasan, bisa dalam bentuk verbal maupun fisik. Dua-duanya tidak ada yang baik atau dapat dimaklumi. Atau, mungkin si guru ini mengalami kekerasan pula oleh gurunya di masa ia sekolah dulu. Sehingga serupa evil cycle, ia 'membalaskan dendam' kepada muridnya saat ini. Bisa saja, kekerasan berdasar dendam ini membekas jelas di jiwa muridnya sekarang. Dan di masa depan, ia akan menjadi guru yang juga melakukan kekerasan. Lalu, bolehkah guru menghukum muridnya? Boleh saja. Namun pastikan guru ini sudah memiliki sifat tuhan. Karena tuhan menghukum kaumnya, sesuai kemampuan kaumnya. Dan apakah guru sudah bisa menjadi tuhan seperti demikian? Belum, dan tidak akan bisa. Mengetahui dan memahami isi tiap kepala siswa adalah mustahil. Sehingga menghukum siswa, secara fisik, bukanlah guru yang mencoba faham siswanya. Ia adalah guru gagal faham peran dan fungsinya. Ia bukan lagi guru. Ia adalah monster menyeramkan buat siswanya. Bertemu guru seperti demikian, berarti bertemu seorang algojo menyeramkan. Hukumlah siswa dengan hal yang membangung, bukan merugikan atau merusak. Jika siswa tidak mengerjakan PR, biarkan saja. Namun di lain waktu jika ada PR kembali berikan siswa-siswa yang tidak mengerjakan PR sebelumnya 2 kali beban PR. Atau, minta siswa yang tidak mengerjakan PR membuat kelompok lalu membuat karya. Jika guru W diatas seorang guru Bahasa Indonesia, minta kelompok ini membuat puisi atau cerpen bertema penyesalan. Lalu puisi atau cerpen ini dibingkai dan dipajang di kelas. Agar supaya menjadi pelajaran siswa lain. Selain stimulan akademis ada dari hukuman seperti ini. Ada hikmah baik dan ancaman 'halus' untuk siswa lain. Semua agar termotivasi untuk terus belajar. Hukuman fisik hanya menyisakan dendam dan guratan trauma. Guru penghukum dengan gaya hukuman fisik, adalah guru yang tidak kreatif. Dan semoga, kasus Lintang ini harus menjadi pelajaran yang memecut mentalitas guru. Siswa bukanlah katarsis kemarahan dan kemalangan hidup seorang guru. Salam, Solo, 07 Februari 2015 12:21 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H