[caption id="" align="aligncenter" width="441" caption="(ilustrasi: lensaindonesia.com)"][/caption] Ramai, riuh rendah deklarasi masing-masing Capres mewarnai hasil Quick Count (QC). Walau sementara, semua merasa menjadi juara. Ada Capres dengan dukungan Lembaga Survei kredibel cenderung pasif dan melihat apa yang terjadi. Sedang Capres dengan dukungan Lembaga Survei yang diragukan kredibilitasnya, cenderung reaktif. Suasana memang kondusif seperti sedia kala sebelum masa Pileg atau Pilpres 2014. Namun, isi setiap kepala publik 'gerah' dan argumentasi siapa yang menang semakin keras. Setiap pihak saling klaim. Untung saja tiap pihak tidak baku mulut atau malah pukul. Hasil QC bukan bikin sumringah publik, malah menyulut suasana gerah. Lucunya, kini ada Real Count (RC) dari media-media corong Capres. Lebih 'hebatnya' lagi, kedua RC berbasis tabulasi nasional internal tim sukses. Dan gawatnya lagi, seperti menjadi 'propaganda' hasil RC ala Timses ini dipajang besar-besar di setiap tayangan berita corong-corong Capres. Membuat hati dan fikir publik kacau baau dan gelisah. Siapa yang sebenarnya memiliki suara yang banyak. Capres No. 1 atau No. 2? Lebih lagi, hasil RC ala Timses ini semakin mengeruhkan 'kegerahan' suasana Pilpres 2014. Publik semakin bertanya dan berargumentasi. Saat QC kedua Capres tidak mempan, kini RC ala Timses muncul. Gerah semakin gerah mendekati 22 Juli nanti. Tiap Capres meminta pendukungnya mengawal Real Count manual KPU pada 22 Juli nanti. Sebuah kenisbian yang dilontarkan. Jika ada beragam fakta, angka dan statistik dari masing-masing Capres yang menafikan makna pengawalan itu sendiri. Seolah-olah angka dan statistik yang ada ini menghasut dan mengintimidasi. Publik seperti digiring fakta yang kadung menjadi opini. Intinya, publik diminta mengawal RC KPU dengan dasar bahwa kubu kita menang. Karena publik sudah 'dicuci' otaknya dengan data dan statistik QC Lembaga Survei dan RC ala Timses yang dikonsumsi menjelang 22 Juli nanti. Nila Setitik Merusak Susu Sebelanga 8 Lembaga Survei yang dianggap kredibel telah mengumumkan QC masing-masing. Dan hasilnya Jokowi-JK yang menang. Sedanga Lebaga Survei yang publik dan pengamat anggap tidak kredibel, memenangkan Prabowo-Hatta. Lalu kegaduhan media yang digawangi Timses pun terjadi. Buru-buru kedua pasang Capres mendeklarasikan kemenangan. Ada yang menangis bahagia. Adapun yang sampai rela sujud syukur. Semua dilakukan dengan amat sangat tergesa dan menggebu. Seolah publik membaca inilah akumulasi luapan emosi setelah 'perang' Pilpres. Ada kepuasan dan orgasme tersendiri yang menyeruak. Walau akhirnya QC kedua pasang Capres menjadi hambar. Lembaga Survei dengan QC-nya kini menjadi 'hambar' hitungannya. Ada yang bilang karena 4 Lembaga Survei Capres No. 1 yang merusak susu sebelanga. Pseudo-victory (kemenangan semu) pun menjangkiti kubu Capres No. 2. Sampai-sampai Presiden menghimbau kedua pasangan Capres-Cawapres menjaga suasana yang kondusif. Menkopolhukam pun demikian keingiannya. Seolah melihat 'kegerahan' yang terjadi, pihak-pihak pemerintah berkuasa tetap waspada akan Pilpres kali ini. Belum usai demam QC, muncul wabah RC ala Tim Sukses dari kedua pasang Capres-Cawapres. Kegaduhan mungkin tidak 'sefenomenal' hasil QC, namun isi kepala publik serasa mau pecah. Memuntahkan segala gundah dan gerah dalam hal kebebasan politiknya. Menentukan Presiden pilihannya, kenapa serumit dan serepot ini. Pemilih pemula hanya bisa melihat suasana. Walau yakin dalam hatinya, bahwa Capres jagoannya yang menang. Jiwa muda yang bergolak dan pembelajaran politik yang minim. Membuat pemuda adalah sekam yang mudah tersulut api isu dan opini. Pemilih kawak pilih diam dan beragumentasi sendiri. Sembari membimbing pemilih pemula. Atau mungkin memperkeruh suasana? [caption id="" align="aligncenter" width="324" caption="(ilustrasi: photobucket.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H