Kenapa dia baru speak-up sekarang? Kenapa pas kejadian diam saja? Kenapa ngga ngomong dari dulu?
Tiga ucapan di atas sering kita lihat atau dengar diucapkan kepada para korban pelecehan seksual. Mirisnya, diucapkan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mengetahui sama sekali apa yang dirasakan oleh korban.Â
Sadar atau tidak, ucapan mereka bukan menenangkan melainkan menjadi sumber tekanan tambahan untuk korban.
Speak-Up memiliki arti sebagai upaya mengekspresikan apa yang dialaminya, baik dari mulut ke mulut maupun melalui media. Dalam konteks pelecehan, korban biasanya diminta speak-up tentang tindakan pelecehan secara 5W + 1H.
- Apa yang dialami korban?
- Siapa pelaku pelecehan?
- Kapan kejadian pelecehan?
- Di mana kejadian pelecehan?
- Kenapa bisa terjadi pelecehan?
- Bagaimana korban dilecehkan atau bagaimana kejadian pelecehannya?
Tujuan dari speak-up korban seharusnya adalah supaya bisa menjerat atau mengadili pelaku pelecehan. Namun, sayangnya kita tidak bisa mengontrol niat dan pikiran manusia.Â
Setelah korban speak-up, justru ada yang menyalahkan korban atau menjadikan cerita korban sebagai bahan konten atau tidak diproses oleh pihak berwajib.
Padahal untuk speak-up, korban bisa dibilang berani keluar dari ancaman.
1. Ancaman Jabatan dan Ekonomi
Ini sering kita temukan dalam konteks pelecehan yang dialami oleh TKI dan karyawan/karyawati di tempat kerja. Korban yang mempunyai posisi jabatan lebih rendah dibanding si pelaku memang ada kecenderungan untuk lebih bungkam. Â