Turut berduka cita atas peristiwa ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar. Semoga kepolisian dan pihak berwajib bisa mengusut tuntas pelakunya dan melindungi  supaya umat Katholik bisa menyambut pekan suci Paskah secara khidmat.
Peristiwa ledakan bom bunuh diri dengan target gereja tidak pertama kali terjadi. Sejenak kita mengulas kembali, pada tahun 2018 sebanyak tiga gereja sekaligus di Surabaya menjadi korban bom bunuh diri yang memakan puluhan nyawa. Setahun lalu juga, ada rencana bom yang diledakkan di Gereja Bandung. Tren yang sama juga terjadi di luar negeri, salah satunya di Sri Lanka ada ledakkan di gereja yang menewaskan puluhan umat saat merayakan ibadah Paskah.
Rentetan peristiwa ini membuat saya dan kita mungkin bertanya-tanya akan satu hal:
Kenapa gereja selalu jadi target?
Dalam dunia kriminologi ada istilah yang disebut "soft target", yaitu seseorang atau benda yang relatif tidak terlindungi atau rentan, terutama terhadap serangan militer atau teroris. Tidak hanya mudah diserang, soft target ini punya ciri-ciri khusus, antara lain:
1. Tempat-tempat di mana sejumlah besar warga sipil berkumpul (berpotensi memakan banyak korban) dan yang umumnya tidak ada kewaspadaan (pasif) serta cenderung tidak memberikan konfrontasi atau "serangan balik".
2. Tempat terbuka dan dapat diakses oleh publik.
3. Tempat atau seseorang yang mempunyai nilai representasi atau simbolis dan  dapat mencuri perhatian banyak orang maupun media.
Dari ciri-ciri di atas pasti kalian tau kan tempat-tempat yang jadi soft target tuh apa aja? Iya betul, jawabannya adalah fasilitas infrastruktur air, energi, transportasi, maskapai penerbangan, hotel, restoran atau cafe, dan tempat ibadah. Tempat-tempat tersebut mudah diakses oleh teroris karena mereka dapat berbaur dengan kerumunan dan dapat menyebabkan kehancuran yang maksimal.Â
Satu hal yang pasti adalah teroris itu tidak bodoh. Peristiwa yang terjadi di Makassar bukan tindakan spontan melainkan ada perencanaan.
Jangan menganggap bahwa meskipun teroris otaknya sudah "dicuci" dengan pemahaman radikal tertentu tetapi mereka tidaklah bodoh dalam bertindak. Mereka adalah kelompok terencana dan setidaknya ada enam tahapan yang dilakukan sebelum memutuskan untuk beraksi:
1. Teroris pertama-tama akan memilih atau mengidentifikasi tempat yang rentan.
2. Teroris akan menentukan metode penyerangan.
3. Mereka akan melakukan pengawasan rinci terhadap tempat tersebut untuk mengukur tingkat keamanannya.
4. Mereka akan menilai kerentanan target dan memilih situs atau pindah ke yang lain.
5. Setelah pemilihan lokasi, pengawasan putaran kedua akan dilakukan untuk memastikan tidak ada perubahan dari observasi yang pertama
6. Terakhir, operasi dijadwalkan dan penyerangan dilakukan.
Dari peristiwa di Gereja Katedral Makassar, menurut saya pelaku sudah "mengantongi" informasi yang cukup dan terencana untuk melakukan aksi teror ini:
1. Waktu:Â
- Minggu Palma merupakan hari raya menyambut pekan hari suci di mana banyak umat Katolik mengikuti misa di gereja.
- Menurut sumber yang saya dapat, pelaku berniat masuk ke gereja saat misa atau ibadah sudah selesai dan umat baru saja keluar dari gereja.
- Biasanya kalau di masa pekan suci ini ada pihak keamanan, bisa dari kepolisian yang membuat posko penjagaan di gereja. Tapi sepertinya karena di masa pandemi ini jumlah umat dibatasi maka penjagaan pun hanya dilakukan oleh penjaga gereja atau umat yang bertugas
2. Tempat:
- Gereja Katedral bukanlah gereja biasa. Gereja Katedral biasanya berlokasi di pusat kota dan punya "nilai perhatian" yang tinggi dibanding gereja-gereja lainnya.
- Dari pengamatan video, saya melihat lokasi gereja ini berada di pinggir "jalan besar" dan posisi gerbangnya dekat dengan jalan. Sangat mudah dan cepat untuk berbelok ke arah gerbang gereja dengan kecepatan yang tinggi lalu meledakkan diri.
Menurut saya informasi-informasi tersebut yang membuat teroris melancarkan aksinya dan mencapai tujuannya, yaitu meraih publisitas maksimum dan menanamkan rasa takut ke masyarakat. Terbukti peristiwa ini sudah mendapat respon dari pemerintah dan ramai diperbicangkan di media massa dan media sosial, termasuk Kompasiana dan saya. Bahkan berita ledakkan ini juga sudah sampai ke media asing, seperti DW, New York Times, dan SCMP.
Ketakutan akan serangan susulan pasti ada, tapi saya berharap semoga pihak pemerintah, kepolisian, termasuk keuskupan mampu belajar dari peristiwa ini sebelum memakan lebih banyak korban. Apalagi sebentar lagi, umat Katolik akan berbondong-bondong ke gereja untuk menyambut Tri Hari Suci dan Paskah.
Pesan khusus: Tolong meskipun di masa pandemi dan umat tidak terlalu banyak, pihak kepolisian tetap membuat posko penjagaan di tiap-tiap gereja seperti biasanya. Meskipun tidak menjadi jaminan setidaknya mampu menjadi tindakan pencegahan.
Baca juga artikel saya yang lainnya: Jangan Pakai Nasionalisme untuk Lawan Covid-19 dan Manchester City dan PSG Berada di Antara Raja-Raja Liga Champions