Belum lama ini, siswa-siswi sekolah menengah atas (SMA) maupun kejuruan (SMK) menerima informasi mengenai pengumuman SNMPTN. Tak lama juga, Kompasiana menjadikan topik tersebut sebagai topik pilihan dan sama seperti topik pilihan pada umumnya, penulis diajak untuk menuliskan cerita terkait topik yang sudah disediakan.Â
Ketika SNMPTN dijadikan ToPil, saya tersanjung dengan tulisan-tulisan yang dikirimkan, mulai dari suka-duka, sukses-gagal, dan tips-tips. Bagi saya, tulisan-tulisan tersebut bukan hanya sekadar rentetan huruf tapi ada makna yang berdampak positif terhadap adik-adik kita yang berjuang meraih perguruan tinggi.Â
Apa dampak positifnya?
1. Mereka tidak lagi merasa sendirian.Â
2. Mereka jadi tahu masih banyak jalan yang bisa ditempuh setelah gagal di SNMPTN.
3. Mereka jadi tahu apa yang membuat gagal dan belajar dari kegagalan tersebut.
Tiga hal ini sepele tapi mampu membuat mereka menganggap bahwa gagal di SNMPTN bukanlah "akhir dari kehidupan"
Baca juga: Kenapa Gereja (Selalu) Jadi Target Bom?
Oiya, saya dan Joe Biden punya pengalaman yang mirip dalam kehidupan loh, yaitu jatuh sebanyak tiga kali. Perbedaannya terletak di balik makna jatuhnya.
Kalau Joe Biden kan jatuh saat naik pesawat kepresidenan Air Force One ketika hendak melakukan kunjungan ke Atlanta. Nah kalau saya jatuhnya karena gagal ketika di tiga seleksi perguruan tinggi negeri: SNMPTN, SBMPTN, dan Ujian Mandiri (UM). Iya benar, sama-sama memalukan diri sendiri.
Bersyukurnya sudah bekerja sekarang. Sama seperti kalian dan mayoritas pelajar SMA/SMK di Indonesia, saat itu saya menjadikan swasta adalah pilihan cadangan dan negeri pilihan pertama, tapi apa daya swasta adalah jalannya karena negeri bukan untuk saya.Â
Waktu itu saya merupakan siswa dari salah satu SMA Negeri yang katanya "favorit" di Jakarta Timur. Kalau boleh jujur-jujuran, saya pengennya masuk SMA swasta yang ada di Jakarta Selatan karena dari TK sampai SMP sekolah swasta Katolik.Â
Tapi saat itu kondisi perekonomian keluarga tidak mendukung, bapak jadi bapak rumah tangga, ibu jadi kepala sekolah yang gajinya underrated dan tak kunjung naik setelah puluhan tahun mengabdi, ditambah kakak saya kuliah di swasta. Jadi pilihannya ya saya mengalah dulu. Jika, banyak yang senang keterima di SMA negeri tapi tidak dengan saya karena yaaa ini bukan keinginan tapi langkah menjaga keharmonisan keluarga.Â
Setelah diterima, saat itu ada tes untuk menentukan jurusan IPA/IPS dan hasil tesnya menunjukkan kalau saya cocok di jurusan IPA.Â
Lagi-lagi tidak sesuai keinginan karena saya pengennya IPS. Ada sih kesempatan untuk pindah jurusan tapi melihat pergaulan dan stigma tentang "anak-anak IPS" di sekolah membuat saya pilih legowo untuk di IPA.
Awal-awal masuk, saya sempat mengalami culture dan religion shock karena ternyata sangat berbeda dengan sekolah swasta Katholik, tapi ya lama-lama bisa beradaptasi juga.
(ini ceritanya panjang, mari kita langsung fokus sesuai judul saja)
Sebenarnya, sedih sih kalau diingat-ingat lagi, tapi gapapa saya akan coba berbagi.