Mohon tunggu...
Tegar Pujyantara
Tegar Pujyantara Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Memardi Kartika Bangsa", Fenomena Kerasnya Sekolah Terpencil

10 September 2010   19:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Fasilitas pendidikan formal yang dinamakan,”Sekolah”, bukan lagi mendapat perhatian penuh sebagai sarana menempuh pendidikan bagi seluruh bibit bangsa yang memang ditakdirkan sebagai pemikir ulung layaknya Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi sudah menjadi titisan mesin ATM bagi para pebisnis kita dengan dalih fasilitas lengkap tanpa adanya suatu tujuan nasionalisme pendidikan yang tidak jelas. Mereka yang terdidik disana adalah para penerus kaum liberalis non - nasionalis dan yang ditekankan bukan sisi pendidikan sebagai alat untuk menjadikan bangsa lebih baik, namun sebagai pembentuk pribadi egois yang terfokus pada kesiapan diri mencari uang.

Semboyan “Memardi Kartika Bangsa”, mendidik para anak bangsa untuk menetapkan cita - cita dan harapan yang tinggi dan mencapainya serta mampu hidup bersama di tengah - tengah masyarakat. Sekolah yang terbilang jauh dari hiruk pikuk kota dan tinggalah kenangan apabila mereka yang datang dari kota besar mengharapkan keramaian dunia gemerlap ataupun ramainya pemuda pemudi berpacaran ala Eropa, SMA Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan, hanya menyajikan ketenangan dan pelatihan kewibawaan bagi calon misionaris sejati.

Tidak seperti sarana pendidikan bertaraf SMA lainnya yang menyediakan berbagai fasilitas istimewa seperti, laboratorium komputer atau biologi, ruangan kelas ber-AC, lapangan olahraga yang lengkap tanpa harus berbagi dengan masyrakat sekitar, yang disediakan bagi kami hanyalah tuntutan hidup didikan para elit Katolik akan Ketuhanan, Kebangsaan, dan Kemiskinan. Memang fasilitas yang ditawarkan bagi sekolah berpenjara yang berkedok asrama ini terbilang cukup, namun bagi para pemuda pemudi jaman sekarang yang membutuhkan segala informasi dan gosip dirasa sangat tidak cukup dan mereka harus merasa cukup.

Kerasnya penyesuaian akan Kemiskinan yang dihadapi dalam masyarakat Indonesia menjadi makanan kami, besarnya rasa cinta kami kepada Tuhan memudarkan perasaan kami bercinta dan bercerita kepada pemuda ataupun pemudi rupawan dan Kebangsaan menjadi bel keras pada pukul 5 pagi. Ketiga paduan inilah yang serta merta menjadi keseharian kami untuk bertahan hidup dalam penjara asrama ini selama 3 tahun penuh.  Para elit Katolik pun dengan kolotnya mampu menyatakan,”Keluar!”, bagi mereka yang tidak sanggup menjalaninya. Belum ada dalam sejarah hingga saat ini, satu angkatan pilihan yang jumlahnya tetap sama sejak mereka menjalani orientasi hingga akhir masa tahanan pendidikan mereka.

Hasil dari proses keras itu adalah Keyakinan, Keberanian dan Kesuksesan dalam meneruskan perjuangan bangsa, seperti yang telah dilakukan oleh Menteri Ekonomi selama tiga dekade, Frans Seda, kemudian Menteri Perdagangan RI ke-5 serta Menteri Pertanian RI ke-6, Kasimo dan beberapa tokoh lainnya yang telah merasakan hangatnya suasana tersebut.

Keyakinan yang diperoleh adalah untuk meninggalkan sekolah tersebut demi harapan mulia anak - anak bangsa, Keberanian untuk menyatakan tidak akan ketidakadilan, kesenjangan sosial, KKN, dan praktek kotor politik lainnya dan Kesuksesan dalam menjalin tali kasih persaudaraan bangsa dan Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun