“Oh warna - warna pada dunia kuterpesona kau teristimewa..“sepenggal lagu berjudul Warna yang dinyanyikan Sheila Majid ini, sedikit bisa menjadikan curahan bagi kalangan marhaen Indonesia untuk mewarnai rupa bangsa di tahun 2011.
Warna – warni 2010 memberikan ranah pilihan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk memberikan kesatuan warna akan citra bangsa ketika itu. Bukan hanya bagi para politisi dan siswa siswi, bukan juga terbatas para koruptor dan orang kantor, bukan juga terbatas bagi para musisi dan kaum akademisi, dan bukan juga terbatas pada kepala negara dan pencari gara – gara ( biasanya dianggap kaum demonstran ). Dari permasalahan Bank Century, memanasnya konflik Indonesia – Malaysia, terkuaknya permasalahan Gayus Tambunan, hingga hangar binger Piala AFF. Sekiranya peristiwa diatas telah menjadi warna warni tersendiri bagi orang awam, walaupun diluar peristiwa tersebut banyak sekali peristiwa yang menjadi warna - warni dan juga aktor – aktor yang mewarnainya.
Ketika suatu waktu lagu berjudul Warna yang dinyanyikan oleh Sheila Majid diputar di salah satu radio swasta, mengingatkan kembali ingatan masa 2010 ketika warna warni peristiwa tersebut benar – benar mempesona saya sebagai kaum Marhaen Indonesia untuk mencari warna yang tepat!
Abu – abu, tidak hitam dan tak kunjung putih. Diwarnai kebanggan dan kesedihan. Terlintas pertanyaan, apakah warna ini sama saja dengan warna tahun – tahun sebelumnya? Terpikir sedikit untuk melihat lebih jauh, karena Jas Merah, Jangan Sekali – kali Melupakan Sejarah, Bung Besar merilis istilah tersebut. Begitu meyakininya perkataan Bung Besar membuat saya yakin untuk tak melupakannya. Namun tidak untuk saat ini karena tahun 2010, saya anggap sebagai masa pre-annihilative, ketika semakin panasnya pertentangan akan kesedihan dan kebanggaan.
Memasuki tahun 2011 yang baru saja berselang sekiranya saya mendapatkan warna yang diharapkan, ternyata hanya 21 hari berselang dari perayaan tahun baru warna tersebut tak kunjung muncul. Dua pewarna yang notabene menjadi dan sudah menjadi selebritis baru ranah kanvas, Ariel dan Gayus. Konsep pewarnaan yang diterapkan sama, sama – sama diadili walaupun ada yang berwarna sedikit nyeleneh dengan mlampah – mlampah ning londo. Namun, sedikit yang berbeda adalah hasil akhir warnanya, Ariel yang didaulat sebagai terdakwa penyebaran video mesum terbukti mengundang keseriusan masyarakat, sehingga warna yang terdapat didalamnya adalah ungu, kesedihan dan ketidakadilan. Seniman dengan nila setitik, namun telah membagikan jingga di hati masyarakat Indonesia mendapat sanksi keras dari kota asalnya, Bandung. Pendemo dan putusan hakim dalam sidang ditambah adanya wacana dari Pemerintah Daerah Bandung untuk melarang Ariel memasuki kota Kembang, menjadikan ketimpangan apabila dibandingkan dengan seniman politik ini, Gayus.
Decak kagum akan pegawai pajak sekaligus milyuner ini akan aksinya di luar bilik bui menempatkannya pada warna biru tua, dalam bagai lautan namun selalu tenang dan menyimpan misteri di dalamnya. Ya! Ketenangannya dalam berjalan – jalan menonton tennis dan tamasya ke luar negeri itulah buktinya bahwa ia sangat tenang ditambah raut wajahnya ketika sidang, walaupun vonis 7 tahun penjara telah ditetapkan ia tetap tenang. Antusias pengamat sekiranya terfokus bagaimana Ariel disidang dan diberikan sanksi tegas dibandingkan dengan Gayus. Kedua tokoh yang bukan apa – apa kini belajar mewarnai banyak dari kanvas besar.
Awal tahun mungkin tidak memberikan harapan munculnya dua warna yang saya inginkan mungkin sulit terjadi. “Bangsa ini berada dalam titik nadir!”ucap Adnan Buyung Nasution, politikus sekaligus pengacara Gayus. Tuturan tegas ini membuat saya sedikit meyakini bahwa dua warna itu tidak akan muncul.
Merah dan Putih! Inilah yang saya inginkan! Inilah warna Marhaen Indonesia!
Falsafah akan keberanian dilambangkan dengan merah dan putih akan kejujuran sebagaimana makna lambang dari Sang Saka Merah Putih hingga saat ini belum terbukti. Keberanian yang ditunjukkan oleh para penegak hukum dankaum terpelajar yang menjadi harapan utama terbilang nihil, konsepsi nyata akan keberanian tegas akan pergerakan nasional dialihkan oleh kehidupan “enak dan layak”. Kejujuran dari setiap elemen pemerintah serta masyarakat dan para pejabat gendut pun sampai terkesan susah dilontarkan bahkan di kalangan mahasiswa. Berkelit dengan banyaknya tugas, kepentingan pribadi dan kegiatan humaniora yang menggiurkan, harga murah luar negeri pun mudah, inilah yang menjadi acuan saat ini.
Kembali pada Jas Merahnya Bung Besar, sejarah pembaharuan negeri ini sekiranya selalu digerakkan oleh mahasiswa dan bukan kepala negara atau petinggi politik. Inilah Mahasiswa! Penggerak revolusi dan gambaran kaum akademis yang mampu bermain mistis dalam mengubah sejarah. Jadi lebih baik atau tidak kami serahkan padamu pemuda terpelajar! Kembalikan warna warni Merah Putih di segenap titisan anak bangsa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H