Matahari berjalan cepat untuk berganti tugas dengan bulan. Itulah rutinitas kehidupan alam bebas di bumi. Berbeda dengan bapak yang berkulit sawo matang ini, baru akan memulai kegemarannya di waktu petang. Walaupun umur sudah 40 tahun dan memiliki postur tubuh terbilang kecil, ia memiliki jiwa yang berkharisma dari dirinya. Siapakah beliau?.
Bukan Bapak FX. Budi Agus Sutrisno namanya, jika bukan pelaku utama yang memiliki hobi bersepeda. Di sini, hobi bersepeda berbeda dalam konteks yang sebenarnya karena ia mampu memberi keuntungan dari hobi bersepedanya. Modifikasi sepeda adalah jawabannya. Keterampilan ini ia dapatkan berasal dari keuletannya dalam merangkai bagian demi bagian kerangka sepeda.
Sepeda adalah sahabat bahkan keluarga baginya. Sepeda menjadi mata pencahariannya demi sesuap nasi di era jaman yang serba modern ini. Hanya bermodal dari hobi bersepeda, tekad baja, dan keterampilan modifikasi sepeda, ia mampu menghasilkan karya-karya ciptaannya.
“Memodifikasi sepeda saya lakukan pertama kali karena saya suka bersepeda”, celoteh pak Agus, nama sapaan yang kerap dipanggil oleh teman-temannya.
Rumah tempat pak Agus berisitirahat, sekaligus menjadi bengkel sepeda modifikasinya. Halaman rumah penuh dengan kerangka-kerangka sepeda yang ia dapatkan dari desa daerah Brebah. Rangkaian demi rangkainan ia kumpulkan kemudian merakitnya menjadi sebuah sepeda. Tak ada label atau merk untuk sepeda buatan pak Agus. Kegemaran memodifikasi sepeda inilah menjadi tahap awalnya berbisnis di bawah jembatan Janti.
Awalnya, sepeda yang ia pajang di bawah jembatan Janti karena halaman rumahnya tidak cukup untuk menyimpan sepeda-sepeda modifikasi miliknya. Dikarenakan sering dipakai untuk tempat parkir motor orang-orang yang belajar Aikido depan rumahnya. Tiba-tiba tercetus ide untuk menaruh sepeda di bawah jembatan Janti, tepatnya dua bulan yang lalu.
“Biasanya saya merakit sepeda sendiri mba dari barang rongsokan yang saya dapat dari desa-desa, ketika sudah bosan, yah, saya jual mba”, ungkap bapak yang memiliki sepasang anak ini, Krisna (SMM kelas 2) dan Gaby (kelas 5 SD).
Pak Agus sebenarnya bekerja di bawah pimpinan anak pemilik dari Rumah Makan Ayam Goreng Suharti. Kemampuannya dalam merakit sepeda ia dapatkan secara otodidak. Hanya bermodalkan model atau foto sepeda yang diinginkan dari konsumen, pak Agus bisa menyulapnya menjadi sepeda yang tidak kalah bagusnya dengan sepeda yang dijual di toko sepeda pada umumnya.
Keuntungan yang bisa beliau dapatkan sekitar Rp 50.000 – Rp 200.000 dari penjualan per unit sepeda. Bapak yang menikah dengan istrinya tercinta, Bu Retno, tidak terlalu memikirkan keuntungan sepeda yang ia dapatkan karena ia bekerja hanya berdasarkan hobi.
Sebelumnya sempat terpikir untuk menjual sepeda di bawah jembatan Janti, beliau hanya menitipkan sepeda modifikasi di Barkas (Barang Bekas). “Sampai suatu hari di Barkas, sepeda saya ditolak dengan alasan sudah tidak ada tempat lagi, saya sempat kecewa, semenjak itu saya tidak pernah menitipkan kembali ke Barkas”. Di Barkas, keuntungan yang didapat Pak Agus hanya 50 persen dari total penjualan sepeda. Saat ini, keuntungan menjual sepeda mampu ia raih sepenuhnya tanpa perlu ada potongan lagi.
Sepeda-sepeda yang dijual pak Agus relatif murah karena bergantung dari bahan dan tingkat kesulitan memodifikasi sepeda. Harga sepeda yang beliau jual, mulai dari harga sekitar Rp. 100.000 – Rp. 2.000.000 per unit sepeda.
Kalangan masyarakat yang sering membeli sepeda buatan Pak Agus seperti pelajar SMP-SMA. Padahal, tidak ada target khusus pasaran sepeda yang dipatok Pak Agus. “Mahasiswa malah jarang mba membeli, mungkin mereka mampu modifikasi sendiri sesuai keinginan mereka”, tambah bapak yang pernah ternak burung Kenari ini.
Usaha sampingan pak Agus ini membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Bagaimana tidak? Pak Agus sendiri tidak pernah melakukan promosi besar-besaran, seperti membuat brosur, pamflet, X-banner, apalagi baliho. Konsumen mengetahui usaha sepeda modifikasi sepeda pak Agus dari mulut ke mulut masyarakat.
Setiap pekerjaan yang dilakukan memiliki kendala tersendiri. Hal ini pula yang dirasakan oleh bapak yang memiliki tindikan di kuping kiri ini. Saat ada pesanan pembuatan sepeda, konsumen hanya memberikan uang muka 20 persen dari total kesepakatan harga sepeda. Padahal, modal yang dikeluarkan beliau untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan jauh lebih besar. “Makanya itu mba, saya harus nombok dulu yang 80 persen”, tambah pak Agus sambil membenarkan letak kacamatanya.
Pak Agus mampu menyelesaikan satu unit sepeda sekitar 2-3 hari jika model sepeda yang diinginkan konsumen sederhana serta bahan baku yang diperlukan mudah dicari. Tapi ada juga sepeda yang lama pembuatannya sekitar sebulan bahkan lebih. Hal ini dikarenakan, bentuk sepeda yang rumit dan tentu saja bahan baku sulit ditemukan.
Bengkel sepeda milik pak Agus tidak memiliki peralatan yang cukup lengkap seperti alat untuk mengelas potongan-potongan sepeda. Biasanya bapak menyuruh orang untuk mengelasnya. Tapi secara keseluruhan pengerjaan sepeda, Pak Agus mengerjakannya sendiri. Bukan alasan tidak mampu membayar orang untuk mengerjakannya tapi karena pak Agus sendiri mencintai pekerjaannya. Jadi segala hal yang mampu ia kerjakan sendiri, ia pasti akan melakukannya.
Penjualan sepeda di bawah jembatan Janti sampai sekarang tidak ada teguran dari pihak yang berwajib. “Kalo saya di gusur, masih banyak mba yang jualan di bawah jembatan Janti yang dekat rel kereta Halte bus Trans Jogja”, tambahnya.
Jatuh bangun suatu usaha menjadi hal yang wajar dalam dunia bisnis. Hal serupa juga pernah dialami beliau. Beliau sempat mengalami kerugian dikarenakan salah perhitungan. Kerugiannya sekitar Rp. 100.000. Memang jumlah yang bukan seberapa bagi pengusaha besar tapi rakyat kecil seperti pak Agus sangat berpengaruh. Semenjak itu, beliau lebih berhati-hati dalam penghitungan mulai dari modal untuk bahan baku sampai proses produksi sepeda.
Jenis sepeda yang mampu dikerjakan pak Agus seperti fixie, lowrider, dan tandem. “Untuk saat ini, fixie sedang diminati oleh anak muda jadi banyak pesanan sepeda fixie”. Harga sepeda fixie paling murah seharga Rp. 600.000-an dan paling mahal sekitar Rp. 2.000.000-an.
Walaupun usaha modifikasi sepeda pak Agus sudah berjalan cukup lancar, tapi beliau tidak merencanakan untuk membuka toko sepeda yang lebih besar lagi. Beliau sudah cukup menikmati memodifikasi sepeda yang berjalan berdasarkan kesukaan hatinya, bukan semata mencari keuntungan.
[caption id="attachment_108410" align="alignright" width="300" caption="Sepeda rakitan pak Agus di bawah Jembatan Janti "][/caption]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI