Jika aset yang di-inbreng-kan berupa tanah dan/atau bangunan, maka transaksi inbreng tersebut akan dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). BPHTB merupakan pajak yang dibayarkan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang dihitung berdasarkan nilai perolehan atau nilai pasar aset tersebut, mana yang lebih tinggi.
Pajak yang dibayarkan dalam transaksi inbreng ini merupakan konsekuensi dari pengalihan hak kepemilikan atas aset dari pemegang saham pribadi kepada perusahaan. Pajak tersebut wajib dibayarkan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, dan besaran serta cara perhitungan pajak ini mungkin berbeda-beda tergantung pada jenis aset yang di-inbreng-kan dan kondisi spesifik lainnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PJ.03/2008 tentang transaksi pengalihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam inbreng, subjek pajak baik orang pribadi maupun badan yang mengalihkan hak atas tanah, wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 5% dari nilai transfer. Adapun yang dikecualikan dari Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan yang bukan subjek pajak.
Dengan mematuhi kewajiban perpajakan ini, perusahaan dan pemegang saham memastikan bahwa proses inbreng dilakukan secara sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pengecualian terhadap pajak diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), khususnya Pasal 4 ayat (3) huruf c, penerimaan setoran modal oleh perusahaan dari pemegang sahamnya bukan merupakan objek Pajak Penghasilan bagi perusahaan yang bersangkutan tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 Pasal 2b. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat  (1) dan Pasal 2 ayat (1) adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah       dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juts rupiah) dan bukan            merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada   Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis          keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi       yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang      hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang                  bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan,         badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur       lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,             kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
Pada intinya, ketika seluruh ketentuan hukum telah dipenuhi, baik penilaian terhadap aset, hasil RUPS dan ketentuan lainnya, maka modal dalam bentuk inbreng dapat dijadikan menjadi saham atau beralih menjadi aset dalam sebuah Perseroan Terbatas, baik dalam bentuk benda berwujud maupun benda tidak berwujud selama memiliki nilai ekonomi yang dapat dinilai dalam bentuk uang.