Sebagian besar penikmat film, terutama dari kalangan remaja tentu tahu film "5 cm" yang sangat booming di tahun 2012/2013 lalu. Karena penasaran, saya pun lantas mencoba untuk download film tersebut dan menontonnya. Setelah menontonnya, saya cukup tertarik dengan kisah persahabatan yang disajikan, apalagi dengan adanya setting di gunung Semeru karena saya termasuk penggemar petualangan dan pendakian.
Namun demikian, banyak tulisan-tulisan berbagai artikel yang mengklaim bahwa film 5 cm adalah film jelek, tidak bermutu. Alasannya, “5 cm” tidak menyajikan secara detail bagaimana ilmu mendaki gunung (saya tidak tahu apakah para pengkritik itu benar-benar tahu ilmu mendaki gunung). Sebagian mereka membadingkan dengan film-film seperti “vertical Limit”, atau “Into the Void”. Selain masalah keilmuan tentang mendaki gunung, dampak yang lebih parah adalah terbiusnya dan terdorongnya para penonton untuk mengikuti jejak para tokok di film tersebut dengan mendatangi langsung gunung Semeru yang merupakan gunung api tertinggi di pulau Jawa. Dan yang terahir ini memang benar, sejak dirilisnya film ‘5 cm” pengunjung Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memang membludak, terutama yang ingin menyaksikan secara langsund keindahan danau Ranu Kumbolo dan merasakan tantangan mendaki ke puncak Mahameru.
Lalu benarkah film “5 cm” ini jelek dan negative?
Well, saya tidak ingin memberikan judgement positif atau negatif secara langsung. Namun sebagai seorang pecinta film dan juga petualangan alam bebas, saya berharap siapa saja bisa lebih bijak dalam menyikapi fenomena ini.
Pertama, jika film film ‘5 cm” dikatakan jelek karena tidak menyajikan pengetahuan tentang pendakian gunung secara lebih detail, saya kurang setuju. Bagi saya, film ini sejatinya bukanlah film tentang mountaineering sebagaimana “Vertical Limit”. “5 cm” lebih bertemakan drama persahabatan. Hanya saja disajikan dalam plot dan setting pendakian. Berbeda dengan “Vertical Limit” yang sejak awal sudah memfokuskan cerita tentang pendakian ke puncak Everest. So ini masalah genre. Pendakian dalam “5 cm” hanya menjadi second theme sehingga wajar jika tidak terlalu mendetail dalam memberikan pengetahuan tentang pendakian. Dan kalau dikatakan tidak memberikan pengetahuan tentang pendakian, perkataan itu tidak sepenuhnya benar. “Hanya kedisiplinan yang akan menyelamatkan kita”, itu salah satu kutipan dialog yang diucapkan tokoh Genta pada sahabat-sahabatnya; dan bagi saya, itu adalah pengetahuan sederhana namun sangat penting dalam pendakian. Dan saya tidak tahu apakah para kritikus yang juga menklaim diri sebagai pendaki termasuk pihak-pihak yang sudah punya kedisiplinan dalam mendaki.
Kedua, memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejak rilisnya “5 cm” pengunjung gunung semeru membludak secara besar-besaran yang tentu sangat berdampak pada resiko rusaknya area semeru dan sekitarnya. Well, kerusakan alam akibat sampah dan sebagainya sudah terjadi di mana-mana jauh sebelum adanya film “5 cm”. Di setiap pos pendakian Lawu, di sepanjang jalur jelajah pulau Sempu sampai Segara Anakan, sampah ada di mana-mana, termasuk juga di Ranu Kumbolo dan Kalimati sebelum adanya “5cm”. ini adalah sedikit contoh mental-mental tidak bertanggungjawab yang seolah mendarah daging dalam masyarakat kita. Masyarakat secara luas harus dididik tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya, dan lebih utama lagi pihak pengelola harus lebih ketat dalam memberikan pengawasan dan sanksi pada para pengunjung yang melakukan pelanggaran. Apa yang saya temui di pos pemberangkatan Semeru sudah cukup baik, meskipun harus lebih diperketat lagi. Kebijakan pengeloloa puncak Everest barangkali bisa dijadikan teladan; di sana setiap pendaki diwajibkan membawa minimal 8 kg sampah ketika turun.
Ke tiga, ada banyak sekali tulisan dan artikel yang menyebutkan bahwa banyak pengunjung semeru menyamakan pendakian dengan pergi ke mall dengan tampil cantik. Well, selama saya berada sana (semeru) beberapa waktu lalu, saya tidak menemukan pengunjung membawa tas tangan, atau pakai rok mini seperti ketika mereka berada di mall. Hehe. Kalau masalah tampil cantik dan bermake up, bagi saya tidak ada masalah. Harus diingat bahwamendaki ke puncak gunung sekalipun tidak ada larangan untuk menjaga penampilan. Mendaki gunung sekalipun bukan berarti kita harus tampil kumuh, bau, dan jelek lho ya.
Ke empat, banyak pihak yang mengklaim bahwa proses syuting film "5 cm" merusak alam semeru karena adanya penebangan pohon untuk bahan bakar dapur umum serta pemanfaatan danau Ranu Kumbolo untuk tempat mandi dan cuci. Kalau yang ini saya tidak bisa memastikan. Dari obrolan dengan salah seorang porter sewaktu saya berada area "sumber mani" untuk mengambil air, sang porter tidak membenarkan issu itu, namun memang benar bahwa ada sekitar 300 porter yang dilibatkan untuk keperluan angkut barang dan logistik. Entah yang dikatakan sang porter bear atau tidak.
Kesimpulannya, seharusnya kita tidak mengkambinghitamkan film “5 cm” sebagai bahan persalahan membludaknya jumlah pengunjung semeru dan banyaknya pengunjung yang tidak bertanggungjawab pada kelestarian lingkungan Semeru. Kontrol dari pihak pengelola melalui pengketatan perijinan pendakian dan kedisiplinan selama berada di tempat harus lebih ditingkatkan dan tidak memanfaatkan banyaknya pengunjung dari sisi komersil saja. Dan jika kita mengklaim film “5 cm” tidak memberikan pendidikan pendakian, lihatlah kembali genre dari film itu dan lihatlah nilai-nilai lain yang bisa diambil. Dan kita juga harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita sendiri sudah memahami ilmu tentang pendakian, dan apakah kita sudah menerapkannya? Dan bagi para sahabat yang belum pernah naik gunung, jangan lantas tergiur dengan adegan di film "5 cm" lalu membayangkan indahnya memadu kasih di belantara gunung. Mendaki gunung apalagi gunung semeru sebagai gunung tertinggi di Jawa tidaklah semudah yang disajikan di film. bacalah banyak-banyak pengetahuan tentang pendakian, dan buatlah persiapan yang matang, dan yang lebih penting tetap jagalah kelestarian alam.
Selamat menikmati alam Indonesia. Dan jadilah penikmat alam yang bertanggungjawab. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H