"Hujan adalah berkah, namun sayangnya hanya sedikit orang yang memahaminya", begitulah sepenggal kalimat yang ditulis salah seorang sahabat di akun jejaring sosialnya.
November dengan hujannya yang mulai istiqomah. Apa yang ditulis sahabat saya di atas ada benarnya. Hujan memang mendapat tanggapan yang beragam dari setiap orang. Sebagian orang menganggap hujan menjadi penghalang aktifitas yang hendak di lakukan, terutama aktifitas di luar ruangan. Bagi yang mau hiking pun suasanya menjadi tidak kondusif karena terkendala hujan. Bahkan pertandingan sepak bola pun bisa dibatalkan karena hujan yang lebat. Tak sedikit pula orang-orang yang punya janji batal berangkat karena hujan yang terlalu lebat. Pada kondisi inilah barangkali kemudian orang menganggap hujan sebagai halangan.
Namun bagi segaian orang hujan menjadi berkah. Terutama bagi saudara-saudara kita di daerah yang mengalami kekeringan, begitu pula bagi saudara-saudara kita yang menggantungkan hidup mereka pada garapan sawah dengan sistim tadah hujan. Hujan menjadi berkah yang tak terkira.
Di luar dua hal tersebut, ada satulagi peranggapan terhadap hujan. Hujan adalah melankolisme hati. Hmmm.... ya. Bagi sebagian orang, hujan adalah fenomena yang membawa hati menuju suasana melankolis. Ia bisa romantis dalam suasana yang membahagiakan, dan ia pun bisa tragis dalam suasana yang menyedihkan. Sebab itulah banyak scene film yang mengambil latar hujan sebagai unsur penguat suasana romantis ataupun sebaliknya.
Sebagian orang begitu menghayati hujan dengan duduk dibalik jendela sambil memperhatikan rintik-rintik hujan yang jatuh dengan lamunan yang menerawang ke masa depan, atau pun ke masa lalu; dengan hayalan yang menghadirkan wajah-wajah terkasih ataupun moment-moment istimewa bersama sang belahan jiwa.
Hujan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H