Mohon tunggu...
Ginting Praba Waluyo
Ginting Praba Waluyo Mohon Tunggu... Lainnya - ASN Kementerian Keuangan

Hobi merenung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kendaraan Listrik Sebuah Solusi Atasi Pemanasan Global?

4 Februari 2024   16:05 Diperbarui: 4 Februari 2024   16:27 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun sudah berlalu tapi kenangan akan diingat selalu. Salah satu kenangan yang paling saya ingat di tahun 2023 adalah panas. Benar saja, tahun 2023 dinobatkan sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah oleh Copernicus Climate Change (C3S). Rata-rata suhu udara permukaan bumi mencapai 14,98 derajat celcius, yang artinya mengalami anomali atau kenaikan +0,6 derajat celcius dibandingkan rata-rata suhu periode 1991-2020. Angka tersebut menjadi anomali kenaikan suhu tertinggi sepanjang sejarah sejak pencatatan suhu dilakukan tahun 1850-an. Lebih dari itu, Samantha Burgess, Wakil Direktur C3S menyebut bahwa suhu tahun 2023 kemungkinan menjadi suhu tertinggi dalam 100.000 tahun terakhir.

Peningkatan suhu global tidak bisa dianggap enteng. Dampaknya sangat luas, mulai dari perubahan pola cuaca yang ekstrim, peningkatan level air laut, krisis air bersih, terjadinya wabah penyakit, bencana alam, krisis pangan, hingga ancaman terhadap keberlangsungan hidup berbagai makhluk hidup. Selain itu, perubahan iklim sangat merugikan perekonomian negara-negara di dunia. Menurut Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, perubahan iklim (akibat pemanasan global) menyebabkan bencana alam yang merugikan ekonomi dunia sebesar US$ 100 miliar atau Rp 1.532 triliun (Rp 15.320/US$) setiap tahunnya. IMF menyebut bahwa perubahan iklim merupakan eksternalitas global karena dampaknya begitu masif.

Menurut Gruber (2010) eksternalitas muncul setiap kali tindakan satu pihak membuat pihak lain menjadi lebih buruk atau lebih baik, namun pihak pertama tidak menanggung biaya maupun menerima manfaat dari tindakan tersebut. Pemanasan global dapat dianggap sebagai eksternalitas negatif, karena dampak buruk yang ditimbulkan lebih besar daripada dampak positif yang dihasilkan. Negara-negara di dunia telah berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Upaya tersebut diantaranya melalui Perjanjian Paris yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celcius dengan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca bagi setiap negara. Kemudian ada juga Protokol Kyoto, yang mengikat negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5% dan menciptakan mekanisme pasar karbon untuk menurunkan biaya. Terdapat juga Protokol Montreal, yang melindungi lapisan ozon dengan mengatur pengurangan zat-zat yang merusaknya dan juga berkontribusi terhadap mitigasi pemanasan global. Selain itu, banyak negara juga melakukan kerjasama bilateral dan regional untuk menangani pemanasan global. Contohnya, Australia mengumumkan $2 miliar dalam pendanaan iklim untuk 2020-2025, dua kali lipat dari komitmen 2015-2020. Pendanaan ini mencakup komitmen sebesar $700 juta untuk membangun ketahanan iklim dan bencana di Pasifik, serta kemitraan baru sebesar $200 juta untuk iklim dan infrastruktur dengan Indonesia. Contoh lainnya adalah Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), yang meluncurkan APEC Climate Center pada tahun 2005 untuk meningkatkan kapasitas negara-negara anggota dalam penelitian, prediksi, dan informasi iklim.

Indonesia sendiri memiliki upaya yang cukup menarik dalam rangka mengurangi eksternalitas negatif dari pemanasan global. Salah satu upaya yang cukup menarik adalah kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendorong penggunaan kendaraan listrik. Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan pemberian subsidi untuk pembelian kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) yang akan dimulai 20 Maret 2023. Insentif diberikan untuk 200 ribu unit motor listrik, 50 ribu konversi motor listrik, 39.900 unit mobil listrik, dan 138 unit bus listrik pada 2023. Subsidi yang diberikan sebesar Rp7 juta per unit untuk pembelian sepeda motor baru dan konversi sepeda motor. Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif PPN hanya 1% untuk pembelian mobil listrik hingga akhir tahun 2023.

Melalui kebijakan tersebut diharapkan masyarakat semakin tertarik untuk beralih dari kendaraan energi fosil ke kendaraan listrik. Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Darmawan Prasodjo mengatakan bahwa penggunaan kendaraan listrik akan mengurangi emisi karbon hingga 56%. Oleh karena itu, pemerintah memiliki target ambisius. Pemerintah menargetkan penggunaan motor listrik sebanyak 13 juta dan mobil listrik sebanyak 2 juta pada tahun 2030. Dengan menggunakan kendaraan listrik, diharapkan emisi gas rumah kaca dapat dikurangi secara signifikan. Hal ini sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi GRK hingga 29% secara mandiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

 Kendaraan listrik mungkin memang akan berdampak langsung terhadap pengurangan polusi udara, namun di sisi lain kendaraan listrik dapat menimbulkan polusi yang jauh lebih besar. Jika pengisian daya listrik kendaraan tersebut masih menggunakan sumber listrik berbahan bakar fosil, sama saja bohong. Jika penggunaan kendaraan listrik meningkat, maka kebutuhan listrik juga meningkat. Kementerian ESDM mencatat sumber pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh energi batu bara yang porsinya mencapai 67,21% pada 2022. Padahal batu bara merupakan penyumbang emisi terbesar dibanding energi fosil yang lainnya. Pada akhirnya dengan kenaikan kendaraan listrik maka akan membutuhkan lebih banyak batubara untuk menghasilkan listrik, yang artinya akan lebih banyak emisi yang diproduksi. Maka, ketika pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik maka harus dibarengi dengan komitmen untuk membangun secara masif sumber tenaga listrik yang ramah lingkungan (energi terbarukan).

Masalah lain adalah terkait baterai kendaraan listrik. Baterai kendaraan listrik membutuhkan logam berat seperti litium, nikel, kobalt, grafit, dan mangan. Logam-logam tersebut dihasilkan dari aktivitas penambangan, yang mana sangat merusak lingkungan. Nah, ketika penggunaan kendaraan listrik semakin masif, apakah penambangan juga akan digenjot guna mencukupi kebutuhan logam-logam tersebut? Saya rasa pemerintah harus memikirkan alternatif-alternatif untuk mencukupi kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik tersebut. Selain itu, limbah baterai kendaraan listrik jika tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Hal tersebut disebabkan karena kandungan logam berat di dalamnya. Limbah baterai kendaraan listrik tergolong dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Jika penggunaan kendaraan listrik semakin banyak, potensi permasalahan limbah tentu akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah juga harus memikirkan dengan tepat bagaimana proses pengolahan limbah baterai kendaraan listrik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun