Menulis topik diatas seharusnya hanya oleh pakar, pengamat, maupun akademisi. Siapa diriku beraninya nulis-nulis seperti ini? Pakar bukan, pengamat bukan, akademisi pun bukan. Sok amat pake nulis-nulis segala. Saya hanya menempatkan diri sebagai seorang petualang yang sedang duduk diatas bukit, sambil memandang kota yang penuh hiruk pikuk dari kejauhan, kemudian menulis setiap kejadian yang terlihat dari kota itu dalam sebuah notes kecil.
Tulisan yang diadaptasikan dari sebuah topik dialog interaktif yang disiarkan oleh Kantor Berita Radio yg bersiaran dari Jl. Utan Kayu No. 68H Jakarta Timur (KBR 68H) pada rabu pagi (20/8/2014) - membahas tentang Otonomi Khusus Papua. Tentang KBR 68H, siaran “sarapan pagi” setiap hari memang benar-benar jadi sarapan pagi saya. Itu tidak pernah terlewatkan; sesibuk apapun, dan dalam keadaan apapun pagi itu. Informasi menjadi sangat penting sebelum memulaikan aktivitas. Itu ritual saya.
Ada satu kalimat yang disampaikan oleh Mbak Vivi Zabkie (presenter KBR diacara itu); “Daerah-daerah lain jangan cemburu yah dengan Papua karena diberikan otonomi khusus.” Sejenak imajinasiku menjadi liar kemana-mana. Apa yang harus dicemburui dari Papua karena diberikan kekhususan itu? Papua layak dan berhak untuk mendapatkannya. Bayangkan, sejak Papua bergabung dengan NKRI sejak 50 tahun lalu, mereka seperti “anak tiri” yang tidak diberi makan, pakaian dan tempat tinggal yang layak oleh ibu tirinya, walau memiliki “harta warisan” melimpah.
Usia 50 tahun itu bukanlah waktu yang pendek, dengan berbagai dinamika yang dialami serta tantangan yang dihadapi. Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa perlakuan yang dialami oleh rakyat Papua selama ini telah melunturkan sikap nasionalisme sebagian besar dari mereka terhadap NKRI – yang secara demonstratif mengembangkan gagasan yang justru berbalik dengan cita-cita the founding fathers. Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatism, bentrok fisik (konflik horizontal) dalam masyarakat, dan lain-lainnya. Apa mereka salah? Tentu saja tidak! Ini hanyalah bentuk protes atas ketidak-nyamanan anak yang tidak dirawat dengan baik oleh orang tuanya.
Setelah melihat reaksi sang anak, sekarang “orang tuanya” sepertinya mulai takut “kehilangan” dan mencoba untuk menebus “dosa”. Sayang, apa yang dilakukan terkesan seperti dipaksakan dan tidak rela. Diberikanlah “permen” untuk menghentikan protesnya. Karena permen rupanya tidak mampu mendamaikan hati anak, ditambah pula “mainan” dengan harapan dia benar-benar berhenti untuk berontak. Tentu saja ini hanyalah sebuah metafora.
Sekarang mari kita bentuk sebuah istana yang indah dengan permen dan mainan itu. Coba bertanya kepada masyarakat Papua,; apa itu Otsus? Barang apa itu? Makanan apa itu? Apa mereka tahu? Pernah disuatu seminar dan lokakarya “8 tahun perjalanan Otsus di Papua” pada 2009 lalu di Timika, seorang narasumber dari propinsi bertanya apa itu otsus? Ruangan itu hening, diam seribu bahasa. Tidak ada satupun peserta, panitia dan masyarakat yang hadir bisa jawab apa itu otsus. Yang mereka tahu, otsus itu adalah UANG! Lihat, ini stigma yang sudah terbentuk dari dulu dan bahkan sampai sekarang.
Rakyat Papua tahu bahwa otsus itu adalah dana yang disumbangkan oleh pemerintah Indonesia kepada Papua. Tragis bukan? Pada hal Otsus itu bukan hanya sekedar uang. Pemerintah Indonesia melalui pejabat-pejabat yang mensosialisasikan Otsus di Papua pada awalnya telah salah memberikan pemahaman yang baik tentang Otsus. Apa mereka kehabisan kosa kata? Ataukah yang dipikirkan adalah jika Papua disodorin uang makan bereslah masalahnya? Picik! Saya bilang itu adalah tindakan yang tidak pantas diterima oleh rakyat Papua. Bahwa mereka bukanlah anak kecil yang bisa dihentikan tangisannya dengan uang atau permen atau mainan. Penyelesaian masalah-masalah di Papua bukan tentang UANG! Sekali lagi bukan tentang UANG!
UU Otsus ini kan hanya merupakan kompromi politik antara pemerintah Indonesia dan Papua, agar Papua tidak terlepas dari NKRI. tapi celakanya, utk menenangkan rakyat papua, Indonesia mencoba utk memberikan "permen lolipop" yg mereka sebut dgn dana atau uang otsus, yang walaupun ada 5 substansi pokok tercantum di dalam UU itu. Membangun Papua bukan hanya tentang uang. Indonesia harus pintar-pintar melihat masalah fundamental di Papua dan kemudian menterjemahkan dengan baik dalam UU otsus. Tidak hanya gelontorkan uang. Bayangkan 12 tahun sudah Otsus itu diberikan utk Papua, tapi coba lihat perubahannya? 12 tahun bukan waktu singkat.
Belakangan, pemerintah Indonesia mendorong rekonstruksi UU Otsus Papua, karena tekanan-tekanan atas kegagalan implementasi UU Otsus No. 21/2001 itu. Tujuan rekonstruksi UU Otsus yang dirubah menjadi UU Pemerintahan Papua atau yg disebut UU Otsus Plus ini sebenarnya memberi penegasan bahwa Papua adalah khusus, istimewa, asimestris dalam pemerintahan Indonesia. UU ini juga memberikan penegasan penghormatan terhadap identitas dan jati diri orang Papua.
UU Pemerintah Papua (UU Otsus Plus) ini merupakan langkah yang bersifat percepatan pembangunan. UU ini juga memberikan makna yang bersifat rekonsiliatif untuk membangun sebuah kehidupan sosial politik yang lebih damai dan berkelanjutan. Setidaknya ini yang disampaikan oleh Felix Wanggai, staf khusus presiden bidang otonomi daerah di Jayapura, Mei 2014 lalu.
Walau Indonesia memberikan UU Otsus sebagai solusi final untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua, namun kenyataannya Otsus tidak mampu menyelesaikan semua masalah itu. Kehadirannya justru menjadi masalah besar. Hari demi hari implementasi UU Otsus mendapat tantangan dari kelompok masyarakat Papua. Demonstrasi di depan kantor DPRP oleh ribuan massa 2 Agustus 2005 lalu; menyerukan untuk mengembalikan UU Otsus kepada pemerintah pusat, demonstrasi di Jakarta, Jayapura serta Timika untuk meminta PT. Freeport ditutup, merupakan sejarah kelam atas penolakan Otsus ini. Kasus gizi buruk, kekurangan tenaga pengajar, kekurangan tenaga medis di daerah terpencil, pertikaian horizontal, penembakan-penembakan yang cukup dramatis merupakan sebagian kecil potret yang menampilkan wajah suram dan gambaran buruk dari banyak peristiwa lain yang telah menambah pengeroposan perjalanan UU Otsus ini.