[caption id="attachment_347288" align="alignleft" width="300" caption="Hashim Djojohadikusumo (Foto: Tempo.com)"][/caption]
Hashim Djojohadikusumo, nama yang santer di media sepekan terakhir dengan pernyataan kontroversialnya itu, akhirnya mendapat perhatianku juga. Aku sebenarnya tidak tertarik menuliskan tokoh-tokoh dengan karakter yang temperamental.
Adik Prabowo ini rupanya memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dari sang kakak. Sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim tidak kalah “garang” di media - menghamburkan pernyataan dengan nada marah dengan mulutnya, seakan sedang mempertontonkan betapa berkuasanya dia dalam dunia tanpa otoritas. Aku sendiri kadang bergidik saat melihat dia tampil di televisi dengan sorot matanya yg marah, atau mendengar suara marahnya di radio. Aku merasa seperti kehilangan bagian yang paling indah dari sebuah kedamaian dalam dirinya.
Media-media nasional memberitakan bahwa Hashim telah merencanakan aksi balas dendam kepada Presiden terpilih Joko Widodo – karena tidak menerima kekalahan Prabowo, yang tak lain adalah kakaknya sendiri dalam pemilihan presiden 9 Juli lalu.
Pernyataan Hashim ini mewakili koalisi pendukung Prabowo ataukah itu hanyalah pernyataan “dendam” pribadinya kepada Jokowi? Entahlah! Yang jelas, elit-elit politik dari koalisi itu rame-rame membantah pernyataan Hashim. Bukan cuma mereka, Hashim sendiripun membantah dan mengatakan bahwa media telah memelintir pernyataannya. Sungguh! Begitu gampangnya seseorang mengeluarkan pernyataan dan kemudian menyangkalnya ketika mulai tersudut.
Hashim mengaku ia dan kakaknya sulit menerima kekalahan dalam pilpres 2014, seperti yang aku kutip dari sebuah media online; “Sejujurnya, kami tidak dapat menerima kekalahan itu. Saya dan kakak saya tidak berada dalam suasana hati yang baik untuk beberapa waktu. Kami merasa telah dicurangi.” lihat disini beritanya : (Rencana Balas Dendam Adik Prabowo Kepada Jokowi)
Pernyataan terbuka Hashim ini terlihat aneh. Pasalnya, dalam dunia demokrasi, kalah menang itu adalah hal yang biasa. Kenapa Hashim dan Prabowo tidak mau menerima kekalahan dalam berdemokrasi? Memang Cato, seorang politisi dan negarawan Republik Romawi pernah mengatakan bahwa seorang manusia politik itu harus memiliki alasan untuk segala yang dilakukannya. Bahkan saat dia memutuskan untuk bunuh diri sekalipun. Jika tidak dia lakukan, bagaimana dia menjelaskan kepada rakyatnya?
Tapi untuk kasus Hashim, kupikir mereka kakak beradik itu tidak punya alasan sama sekali untuk melampiaskan kemarahan kepada suara rakyat, apalagi sampai menciderai demokrasi. Bukankah manusia politik seperti Hashim dan Prabowo itu harus tunduk pada proses demokrasi dengan segala keironiannya?
Hashim, pun Prabowo sedang mempertontonkan sikap ketidak-siapan diri untuk melakukan keutamaan yang terbaik dalam segala hal, termasuk dalam hal politik, apapun konsekuensinya. Rasanya segala rasa keberangan dan kekesalan karena merasa dikhianati pada pilpres kemarin, seharusnya dihentikan!
Kami tahu Hashim, Prabowo, Jokowi, Jusuf Kalla, dan elit-elit politik itu memiliki niat yang baik untuk membangun Negara (semoga saja seperti itu) kearah yang lebih baik. Dan ketika mereka berkumpul untuk menggenapkan kebaikan terus menerus, tak ada alasan Ibu Pertiwi ini terbungkuk-bungkuk untuk menanggung beban bangsa dipunggungnya sendirian. Yuukk, Damai! Yukkk saling bergandengan tangan untuk membangun negeri. Kalau bukan kita siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Akhirnya jargon dari Gerindra menutupi tulisan ini. Salam Damai yah Hashim!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H