Dalam 12 tahun perjalanannya, UU Otonomi Khusus yang merupakan kebanggaan rakyat Papua ternyata hanyalah tonggak keropos, tidak tahan banting dan hampir kehilangan arah. Sementara implementasinya terhadap 5 substansi pokok hampir semua rontok. Semua itu disebabkan oleh hasil manajemen yang buruk dari pemerintah; yang menyediakan kesempatan untuk manipulasi dan pelanggaran, khususnya dalam hal penggunaan dana otsus.
Dengan gambaran suram tersebut, membuat hampir sebagian rakyat Papua mengemukakan pesimisme mereka. Apakah UU Otsus akan bertahan? Apakah pemerintah serius dan jujur dalam implementasinya? Apakah itu akan terkonsolidasi?
Secara substansial, UU Otsus memberikan pencerahan dan makna penghormatan terhadap hak dasar rakyat Papua dan terhadap hak budaya dan sosial, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan mereka. Namun ternyata UU Otsus di Papua bagaikan Istana pasir yang rapuh. Dalam 12 tahun ini, masyarakat belum mendapat pencerahan itu. Gantinya, masyarakat terus menderita, berpenyakitan, dan merasa tidak nyaman hidup diatas tanahnya sendiri, sementara penyalah-gunaan dan penyimpangan dana otsus terus dipraktekkan
Tidak heran jika terjadi perubahan yang signifikan terhadap selera dan gaya hidup yang glamour serba keelit-elitan dari “konglomerat dadakan” yang hidup dan menari-nari diatas penderitaan rakyat dan terus memamerkan kekayaannya yang gila-gilaan dari uang yang seharusnya milik rakyat. Semua skandal ini merupakan sahabat intim yang menjadi cangkul penggali liang kubur bagi UU Otsus di Papua. Ini jelas-jelas bernuansa ironi. Suasana kebathinan rakyat Papua menjadi tertusuk dan terusik karena sikap inkonsistensi dari pemerintah daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Pemerintah tidak boleh lambat untuk melakukan implementasi akan seluruh penjabaran dari UU Otsus tersebut, sehingga tidak menimbulkan “negative image” bahwa Otsus hanya merupakan “permen” bagi Propinsi Papua yang tidak pernah diseriusi.
Walau kritikan terus dilancarkan, implementasi UU otsus diharapkan dapat terlaksana. Ini tidak berarti pemerintah terus berdiam diri, rakyat harus bersikap pesimistis dan apatis. Namun harus bersama-sama menatap jauh ke depan menembusi hutan belantara permasalahan ini.
Cukup sudah teriakan rakyat Papua; sampai berapa lama lagi kami harus menjadi “penonton” di tanah kami sendiri? Sampai berapa lama lagi kami terus mendapat perlakuan diskriminatif? Sampai berapa lama lagi kami terus dibodohi dan dibohongi oleh pemerintah kami sendiri?
Ini semua adalah renungan yang menantang dalam perjalanan 12 tahun UU Otsus di Papua. Tanpa penyelesaian, masa lalu akan terus menggelayuti masa kini dan juga masa depan. Dengan demikian, dibutuhkan kesadaran kita semua untuk mengawal proses pembangunan saat ini secara bertanggung jawab.
Oleh karena UU Otsus; baik hakekat yang ada dalam UU itu, maupun amanat yang harus dilakukan sebagai alternatif pemecahan masalah adalah untuk mempercepat pembangunan di Papua menuju Papua baru yang lebih baik.
Papua bagaikan gadis kecil yang sedang berlari di tengah taman bunga untuk menangkap kupu-kupu yang indah; tapi akhirnya berhenti disuatu tempat karena ternyata kupu-kupu itu hinggap di semak belukar ditepi jurang yang terjal. Tentu saja ini hanyalah sebuah metafora. Papua kini sedang berlari-lari untuk menangkap “pembebasan” diatas tanahnya sendiri.
Eme Neme Yauware...