Mohon tunggu...
Vensca Virginia
Vensca Virginia Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aku bukan penulis. Aku hanya butuh kanalisasi untuk mengaktualisasikan diri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buku Sebagai Jendela Peradaban Manusia

28 Oktober 2014   01:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:31 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Buku adalah jendela peradaban manusia dari masa ke masa? Saya pikir itu adalah ungkapan yang tepat. Bayangkan dari mana kita mengetahui kisah perjalanan manusia, atau sejarah suatu bangsa kalau bukan dari lembaran-lembaran buku?

Buku bagiku adalah jendela peradaban manusia, bukan hanya sekedar teropong ilmu pengetahuan. Buku laksana kantong ajaib doraemon - menembus batasan waktu dan ketidak-batasan ruang. Maka tidak salah jika saat masih kecil, nenekku selalu mengingatkan; “Jika membaca buku, jangan hanya untuk menambah ilmu pengetahuan saja. Kamu juga harus menjadi bagian dari seluruh isi buku itu. Kamu akan mengalami perjalanan ke banyak tempat, dengan banyak peristiwa di segala waktu.”

Aku bukan pecinta buku sejak masih duduk di sekolah dasar. Tradisi membaca saat itu tidak kutumbuhkan sebagai kebiasaan. aku lebih suka mengekspresikan ide-ide kecil melalui coretan-coretan di kertas. Menggambar bunga, pemandangan gunung yang dibawahnya hamparan sawah, dan lain sebagainya. Jika tampak tidak puas, kertasnya disobek, kemudian membuat coretan yang baru. Begitu terus menerus. Terkadang karena begitu sering merobek kertas, bukunya menipis. Kalau sudah begitu, Ibuku pasti akan “mengancam” dengan tidak memberikan uang jajan ke sekolah.

Ketertarikan ku dengan buku dimulai sejak memasuki bangku SMP. Begini ceritanya…

Kira-kira saat aku berusia remaja 11 tahun dan duduk di kelas 1 SMP, aku disuguhi pelajaran PSPB (pendidikan sejarah perjuangan bangsa) yang berganti nama dengan pendidikan sejarah, seiring pergantian rezim pemerintahan. Saat itu aku diajar tentang Gerakan 30-S PKI, sebuah peristiwa sejarah yang begitu mengerikan, yang pernah terjadi di negeriku. Sejumlah organisasi dituduh sebagai organisasi terlarang dan berbahaya, telah menjadi sayap-sayap maut dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang setiap saat akan memusnahkan peradaban dan mengancam pemerintahan (saat itu). Salah satu dari organisasi terlarang itu adalah Gerwani (gerakan wanita Indonesia).

Guru PSPB SMP ku itu hanya menjelaskan sebatas nama dari organisasi ini saja, tidak menjelaskan secara detail pergerakan, dan semua yang berhubungan di dalamnya. Tidak heran jika organisasi wanita Indonesia ini tdk cukup terkenal sampai sekarang (kecuali PKI). Selama pelajaran itu berlangsung, kutanyakan pertanyaan ini pada guru PSPBku; kenapa pemerintahan orde baru takut pada sekelompok perempuan? Sepengecutkah pemerintahan orde baru saat itu? Guruku tidak menjawab. Dan aku hanya ditegur agar tidak bertanya lagi. Saat pelajaran PSPB itu berakhir, aku dipanggil ke depan kelas oleh guruku itu, dan kemudian memberikan peringatan; “jangan kau sebut nama organisasi itu lagi, nanti ditangkap polisi”. Kemudian sederetan ancaman lain keluar dr mulutnya.

Mendengar ancaman itu aku pun teringat cerita Ibuku bahwa nenek pernah ditangkap dan disiksa oleh pemerintahan orde baru, karena dituduh terlibat dalam organisasi gerakan wanita Indonesia (Gerwani).

Aku pulang ke rumah dengan sejuta tanda tanya. Kutanyakan lagi hal yang sama kepada Ibuku, tapi jawabannya simpel.: “ganti bajumu, kemudian makan. Lebih baik kamu belajar yang lain saja. Jangan kamu ulangi pertanyaan itu lagi yah?” Ibu menutup jawabannya dengan sebuah permohonan.

Sejak saat itu hati kecilku berontak ingin lebih mengetahui seperti apa organisasi yang dihuni wanita-wanita super Indonesia yang ditakuti pemerintahan orde baru itu.

Kutanyakan peristiwa ini pada nenekku. Tentang apa itu gerwani, seberbahaya apa kelompok ini bagi negara saat itu, dan bagaimana pergerakannya? Sayang, jawaban yg terlontar keluar dari bibirnya: "kamu belajarlah yang rajin, kejarlah apa yang kamu cita-citakan dan jangan masuk dalam organisasi-organisa yang membuatmu harus berurusan dengan negara."

Keingin-tahuan tentang hal ini membuat rasa penasaranku semakin liar. Aku mendaftar di perpustakaan daerah propinsi Maluku saat masih duduk di kelas 1 SMP. Kemudian berkunjung ke perpustakaan sekolah-sekolah yang berdekatan dengan sekolahku - Berharap aku dapat menemukan arsip tentang Gerwani. Tidak kudapati juga "jejak"nya. Aku berkeliling toko buku juga tidak ada. Di zaman orde baru, buku-buku atau bacaan sejenis sangat dilarang beredar di masyarakat. Dan mulai saat itu aku mulai jatuh cinta dengan buku.

Aku baru menemukan jawabannya saat sudah menjadi mahasiswa di Yogyakarta dalam diskusi-diskusi "liar" dengan teman-teman di warung-warung kopi pada tahun 1997. Kenapa liar, karena saat orde baru berkuasa, mahasiswa tidak diberikan ruang untuk melakukan diskusi-diskusi kritis yang mengganggu "singgasana"nya. Saat itu juga aku menemukan buku-buku, jurnal dan bacaan dalam bentuk kliping, dari beberapa teman yang berkuliah di jurusan sejarah UGM.

Barulah saat itu aku mengerti kenapa guru PSPBku, Ibuku dan Nenekku tidak mengijinkan aku mengetahui lebih jauh tentang Gerwani. Bahkan sampai penghujung hidupnya, tidak sekatapun terlontar dari mulut nenek untuk menjawab pertanyaanku.

Mengutip sedikit kutipan Budiman Sudjatmiko “pertemuan pertama seorang manusia dengan buku, harus dilihat sebagai moment of truth pada jalan hidupnya. Momentum saat seseorang bertemu buku itu adalah saat dirinya sedang ditinggikan melampaui tinggi tubuhnya.” Tentu saja Budiman benar. Pertemuan pertamaku dengan buku itu telah mengubah segala bentuk kehidupan yang kini kujalani.

Saat aku tidak menemukan satu orang pun disekitarku untuk mendapatkan jawab atas setiap pertanyaan yang timbul, aku selalu mencarinya dari buku atau bacaan apa pun yang sejenisnya. Jika sudah berada diantara buku-buku (tumpukan buku),; aku merasa sedang berada di tengah-tengah taman peradaban. Disana aku bisa menari-nari dengan ilmu pengetahuan, memetik harumnya bunga sastra, dan merangkul mesra setiap peristiwa, di setiap tempat dari segala zaman. Semakin aku menikmatinya, semakin aku terhanyut dan tidak ingin meninggalkan taman itu.

Jadikanlah buku sebagai sahabat, dan jadikanlah membaca sebagai sebuah kebiasaan, jika ingin mengubah peradaban. Selamat membaca!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun