Mohon tunggu...
Ginna Megawati
Ginna Megawati Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unpad

Ilmu Gizi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Stunting dan Stigma yang Kontraproduktif

13 Agustus 2023   12:10 Diperbarui: 13 Agustus 2023   16:00 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Selama ini penulis telah berkali-kali membaca berita di media online maupun artikel di berbagai jurnal ilmiah yang membahas adanya resistensi dari orang tua dan keluarga ketika predikat stunting disematkan kepada anak-anaknya. Penolakan itu erat kaitannya dengan anggapan sebagian masyarakat bahwa stunting adalah indikator kegagalan keluarga dalam mengurus dan mengawal tumbuh kembang anak. Persepsi itu tentu perlu diluruskan dan dibahas secara proporsional dengan memerhatikan kondisi masyarakat kita secara umum. Stunting terjadi karena berbagai faktor,  orang tua dan keluarga hanyalah satu dari sekian banyak hal yang memengaruhinya. Masalah lingkungan, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan adalah faktor-faktor makro yang memiliki peran signifikan dalam kejadian stunting. 

Secara praktis World Health Organization (WHO) mendefinisikan stunting sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak adekuat. Penyebab langsung gizi buruk adalah nutrisi yang tidak memadai, artinya jumlah makanan yang dikonsumsi tidak cukup atau makan makanan yang kurang nutrisi pemacu pertumbuhan. Selain itu infeksi  dan penyakit berulang atau kronis menyebabkan asupan, penyerapan, atau pemanfaatan nutrisi yang buruk. Memang tidak dipungkiri pola asuh sangat memengaruhi asupan makanan yang diterima oleh anak, namun  dalam banyak kasus kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau buruknya kualitas nutrisi makanan tersebut tidak terlepas dari keterbatasan ekonomi dan pengetahuan orang tua dan masyarakat secara umum. Hal ini tampaknya sudah disadari sepenuhnya oleh semua pemangku kepentingan yang terlibat. Saat ini program untuk mengatasi stunting telah menjadi program gotong royong. Semua sektor bergerak, semua lini pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan dilibatkan secara aktif. Stunting bukan semata problem individu dan keluarga, stunting adalah masalah bangsa yang perlu dituntaskan bersama-sama. 

Mengutip dari penjelasan UNICEF tentang kisah sukses Bangladesh yang berhasil menurunkan angka kejadian malnutrisi kronis yang berujung pada penurunan kejadian stunting, yaitu turun dari 42% pada 2013 menjadi 28% pada 2019. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro Statistik Bangladesh  dan UNICEF menunjukkan bahwa penurunan tersebut didapatkan dari usaha Bangladesh secara simultan untuk memperbaiki berbagai hal yang berkaitan dengan kesehatan, nutrisi, penyediaan air bersih, sanitasi, pendidikan dan perlindungan anak. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengatasi stunting banyak masalah dari berbagai sektor yang perlu diperbaiki. 

Mengidentikan anak stunting sebagai "simbol" kegagalan ibu, orang tua dan keluarga adalah sesuatu yang keliru. Tanggung jawab utama memang tetap di level individu dan keluarga, tetapi  jangan sampai diterjemahkan sebagai beban yang membuat ibu atau keluarga begitu mudah dihakimi sebagai orang tua yang gagal. Hal ini penting untuk diklarifikasi mengingat stigma negatif hampir selalu berkembang dengan cepat. Akibatnya semakin banyak masyarakat yang enggan untuk menerima dan mengakui anak-anaknya tergolong sebagai anak stunting. Pada akhirnya orang tua merasa malu untuk menyampaikan informasi secara jujur dan terbuka tentang pola asuh, asupan makanan dan informasi-informasi lain yang sebenarnya sangat penting untuk menemukan penyebab stunting pada anak-anak. Bahkan dalam banyak kasus di beberapa daerah ditemukan orang tua yang menutup dan menarik diri dari segala program stunting yang semestinya diikuti secara aktif agar dampak negatif stunting dapat diminimalkan sejak dini.  

Perlu diingat kembali bahwa dalam program yang sudah berjalan secara masif ini hal-hal non teknis sangat memengaruhi capaian yang diharapkan.  Kita masih cukup beruntung karena di lapangan banyak dijumpai kader kesehatan yang cukup sensitif untuk menyikapi situasi agar stigma negatif ini tidak berkembang lebih luas. Para kader memilki trik yang mungkin tidak pernah diajarkan secara formal di pelatihan manapun mengenai cara mendekati orang tua dengan anak stunting tanpa menimbulkan kesan negatif tentang stunting tersebut. Namun hal ini masih sangat tergantung dari kepiawaian masing-masing kader. Harapannya adalah saat sosialisasi penanganan stunting di level mana pun kita perlu menekankan agar jangan sampai stigma negatif tentang stunting tertanam semakin dalam di tengah-tengah masyarakat. Alangkah baiknya jika setiap pemangku kepentingan saling mengingatkan bahwa tidak perlu mencari kambing hitam dalam program stunting ini tetapi fokus pada tujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan stunting di Indonesia apapun itu penyebabnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun