Semua orang boleh punya pendapat, cara pandang, perspektif, keyakinan yang tampak mantap dan kukuh sekali. Yakin bahwa apa-apa yang telah dikatakan dan diperbuat selama beraktivitas terasa benar dan katanya sudah sesuai fakta apa adanya. Bukan karena ada apa-apanya berkaitan dengan kepentingan diri, keluarga, dan atau kelompok. Bukan pula karena punya rasa takut dan cemas sehingga merasa perlu memiliki agenda tersembunyi.
Semenjak Antasari  Azhar menjalani proses hukum dan jadi sorotan media masa, ucapan kalimatnya : "Itu semua tiiidak benaaar" seolah menjadi mantra yang ditiru dalam bantahan para petinggi negeri  di depan kamera TV. Apalagi kalau TV berita menayangkan  acara langsung, seolah mengkonfrontasikan para pihak untuk saling menyampaikan perspektif masing-masing mengenai kasus yang sedang dihadapi.
Pemirsa pasti bingung menyaksikan tayangan langsung (live), karena para pihak "berani" mengungkapkan "fakta" yang "benar" menurut versi masing-masing. Pemirsa bingung karena ketika menonton langsung, menjadi semakin tidak jelas makna ungkapan; nama baik, fakta, benar, salah, bohong, rekayasa, takut, ataupun berani. Yang tampak jelas hanyalah para pihak telah berani tampil, berani malu, berani berbuat salah tapi sayangnya tak berani bertanggungjawab alias pengecut.
Nama baik semestinya terbentuk melalui proses panjang. Melewati capaian prestasi yang diperoleh dengan cara-cara terhormat dan bermartabat. Menggunakan nilai-nilai moral, etika, kebenaran, kebajikan dan kemuliaan hidup bagi sesama manusia. Tanpa nilai-nilai itu tak ada nama baik. Tak ada prestise tanpa prestasi dengan virtue, memiliki keunggulan moral, kebenaran dan kebajikan dalam diri si pelaku.
Selama tigabelas tahun reformasi, negeri ini tampak dikendalikan oleh para pemimpin yang awuran dan awut-awutan. Tak jelas lagi visi dan falsafah hidup memimpin bangsa dan negara, padahal konstitusi 1945 jelas mengamanatkan untuk memakmurkan dan mencerdaskan segenap bangsa/rakyat Indonesia. Bukan hanya bagi segelintir elite penguasa, keluarga, kerabat, kelompok atau selingkaran istana dan partai penguasa sahaja.
Bayangkan apa yang terjadi, Â apabila elite penguasa tak dapat melihat dengan mata kepala dan hati nurani sendiri, tetapi menerima laporan ABS atau angka statistik dari BPS saja. Padahal laporan BPSpun menyatakan lebih dari 32 juta jiwa hidup miskin hanya dengan sama atau kurang dari satu dolar AS sehari. Angka itu akan berlipat ganda apabila menggunakan standar atas miskin menurut Bank Dunia dengan dua dolar AS sehari.
Jaman harga-harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, siapa manusia Indonesia kini yang mampu hidup layak dengan penghasilan 1-2 dolar AS sehari. Artinya memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang, dan papan untuk suatu kehidupan yang layak, sehat, damai, sejahtera dan bahagia bagi mayoritas rakyat Indonesia masih sangat-sangat jauh panggang dari api. Sementara itu segelintir elite penguasa, terlebih lagi yang doyan terus berkolaborasi dengan pengusaha kaya, mempertontonkan gaya hidup mewah, Â hedonis, konsumtif, dan suka plesiran keluar negeri. Jurang kaya semakin kaya dengan si miskin tambah sengsara menganga semakin lebar.
Naiknya income per capita Negara Indonesia hanya cerminan dari semakin menumpuk kekayaan bangsa pada predatory elite penguasa dan pengusaha yang terus menggurita memangsa dan menghisap semua harta benda. Penciutan sawah dan semakin sempitnya lahan pertanian karena semakin banyak yang berganti rupa menjadi perumahan dan property investor dan pengusaha kaya pinggiran kota, ikut menambah derita rakyat. Bila kemiskinan makin meningkat, kejahatan merajalela, pembodohan dan kepandiran memudahkan elite penguasa.
Lebih mudah mengelola orang miskin dan pandir dengan sejuta janji dan sekerat roti sahaja, daripada upaya menjinakkan yang lebih cerdas dan kaya. Perlu kerja keras dengan strategi, taktik, bila perlu tipu daya halalkan segala cara untuk berhasil mengkooptasi mereka. Keberhasilan elite penguasa merekrut dan mengkooptasi yang muda, berpikiran cerdas, -termasuk yang culas- serta pengusaha kaya, membuat percaya diri menjadi mantap, tak sadar diri kiranya elite penguasa sedang berada di jalan yang sesat. Sesat pikir sebab keliru berpikiran rancu tanpa sistem nilai mengacu kepada virtue yangtak muncul dalam kalbu karena kehilangan garizah ilahiah.
Terlalu banyak kasus-kasus nyata korupsi dan KKN elite penguasa yang terjadi dan terungkap sepanjang hayat dikandung reformasi. Namun penyelesaian tuntas kasus besar nasional ataupun daerah tersangkut petinggi atau kerabat partai berkuasa tak kunjung terwujud. Bagaimana elite penguasa mampu memenuhi tuntutan akan adanya rasa kebenaran, keadilan dan tanggungjawab berbangsa dan bernegara, bila  kasus besar dibiarkan mengambang. Seolah terjadi secara sistematis pembiaran tanpa penyelesaian tuntas sesuai aspirasi dan tuntutan hati nurani rakyat.  Dimana letak kesamaan hak dan kewajiban setiap warga negara di hadapan hukum. Kita kok tetap berani mengaku sebagai bangsa bernegara hukum, bila senyatanya negara berlandaskan kekuasaan.
Contoh kasus korupsi struktural melanda partai berkuasa paling aktual, diduga terkait dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat  M. Nazaruddin (MN) yang kini mengaku "berobat"  di Singapura. Hampir semua komponen bangsa akan terheran-heran dan kagum dibuatnya. Gayus HP Tambunan yang tadinya bukan siapa-siapa karena tak jelas prestasi banggakan bangsa, mendadak terkenal secara nasional bahkan internasional, karena sempat melanglang buana, walau berstatus tahanan penjara. MN  juga tak pernah terdengar namanya secara nasional, sebelum mencuat kasus tertangkap tangannya SekMenPora oleh KPK. Walau awalnya ada dugaan tersangka ada keterkaitan dengan MN, mengapa pula KPK terlambat meminta upaya pencegahan MN ke luar negeri?. Masak pengegahan resmi baru dilakukan sehari setelah orang yang akan dicegah berada di luar negeri. Keberadaan ke luar negeri sudah pasti dapat diketahui oleh elite penguasa mengingat akses informasi dan sounding secara kolegial yang demikian kental sebagai petinggi partai berkuasa. Kejadian selalu saja berulang bahwa di negeri ini pengaturan secara resmi, formal dan prosedural selalu mengalahkan akal sehat, goodwill or willingness serta hal-hal yang bersifat subtansial dan manusiawi.