Sejak kecil kita telah diarahkan, diberi petunjuk, dididik bahkan dilarang oleh Orang Tua, Kakek-Nenek dan Saudara-Saudara senior agar kelak menjadi anak yang baik dan berbakti, minimal dalam lingkup komunitas sendiri. Kebiasaan yang membentuk pola pikir, sikap dan perilaku sesuai kebiasaan turun temurun dengan menganggap cara-cara yang sudah ada adalah paling baik dan benar. Pikirkanlah dengan otak unggul!. Apabila kita terbiasa menggunakan cara-cara  meniru dan mencontoh apa-apa yang telah menjadi tradisi berpikir orang lain, -siapapun orangnya-,  sebenarnya kita belum sungguh-sungguh berpikir mendayagunakan otak unggul kita sendiri.
Berpikir maknanya menjalani proses mendayagunakan akal budi atau pikiran sehat. Bukan terperangkap dalam akal culas si Budi atau akal licik si Bulus. Akal budi selalu mempertimbangkan ragam hal informasi yang tersedia dalam otak unggul. Informasi yang diterima atau dipulung, diolah, dipilah dan dipilih yang baik-baik, -sebaiknya yang terbaik-, Â sebelum memutuskan berbicara, menulis atau berbuat sesuatu hal seturut hati nurani.
Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pola berpikir kita. Tidak sekedar mengikuti kebiasaan yang telah menjadi suatu tradisi. Dalam upaya membangkitkan tradisi berpikir unggul, kita harus berani mempertanyakan fungsi suatu tradisi. Mendorong diri untuk melakukan perubahan, perbaikan dan kemajuan dengan penuh keyakinan secara mantap. Dengan demikian bisa menumbuhkan rasa nyaman dan bahagia, memuaskan hasrat jiwa berpikir unggul bagi sesama manusia dan alam semesta. Hanya dengan berpikir unggul kita bisa menciptakan standar tinggi dalam kehidupan kita sendiri. Tidak mau lagi secara tradisional terpaksa atau dipaksa mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya sudah lewat waktu. Kedaluwarsa, termakan habis karena berjalannya waktu begitu cepat, sehingga basa tradisi bisa basi tergilas oleh kemajuan jaman serta pola berpikir unggul. Pola berpikir unggul cerminan dari manusia kreatif, produktif, damai, sejahtera dan bahagia karena mampu memuaskan hasrat jiwa mengoptimalkan fungsi otak dan hati nurani.
Tidak mengikuti tradisi, bukan berarti tidak ada nilai-nilai luhur dari para leluhur yang pantas dan layak menjadi panutan. Nilai-nilai mulia dan contoh teladan dari para tetua untuk menjalani kehidupan penuh kebajikan, jujur, ikhlas agar mampu hidup bermartabat itu yang kini justru semakin langka.  Bahkan falsafah hidup berbangsa dan bernegara yang seharusnya menjadi weltanschauung -suatu filosofi komprehensif  bagi kehidupan manusia-, produk unggul adiluhung para leluhur, kini tak melekat dihati penguasa. Apakah ada kini pemimpin negeri yang mampu berpikir unggul, bersikap dan berperilaku sehari-hari berlandaskan pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila? Andaikata ada, tentu kita semua sebagai bangsa beradab tak bakal terperangkap dalam pusaran arus lingkaran setan. Hanya karena tak berpikir unggul, bisa keliru memilih pemimpin bangsa.
Bangsa kita pasca reformasi hanya berputar-putar menghadapi perilaku elite penguasa yang tak bisa keluar dari jebakan korupsi atau KKN ala warisan orba. Belum tuntas penyelesaian masalah korupsi berjemaah,  muncul korupsi terstruktur yang berpangkal pada korupsi pikiran unggul karena hati nurani yang bangkrut.  Lari ke masalah perilaku tak terpuji, jadi bumbu penyedap tindakan KKN para eksekutif-legislatif-eksekutif-legislatif. Harapan rakyat agar pelaku kejahatan KKN mendapat hukuman dengan efek jerapun  tak menjadi solusi tuntas di yudikatif.  Hanya sekedar menunda agar pelaku KKN lega dan masih bisa menikmati dan mengulangi perilaku jahat yang sama, bahkan diwariskan kepada anak cucunya. Elite penguasa cenderung membangun dinasti politik yang korup sampai ke anak cucu, membentuk neo feodalisme, mengukuhkan dalam bentuk republik aristokrasi dan memerintah di jalan yang sesat dalam kubangan oligarki.
Sikap pembiaran dan mengambangkan setiap masalah bakal berdampak buruk pada citra penguasa, karena makin jauh dari perilaku penguasa bermartabat. Keraguan dan sikap ambivalensi karena tak bisa memutus dengan tegas dan tuntas menunjukkan ketiadaan pikiran unggul untuk dapat merasakan hal-hal positif, aspirasi dalam hati rakyat. Tanpa membiasakan diri dengan pikiran unggul positif, Â sama saja dengan sikap berperilaku negatif. Hanya dengan bangkitkan tradisi berpikir unggul anak negeri, -utamanya elite penguasa agar sadar diri-, kita bisa ikut mendobrak kebuntuan dan stagnasi. Bila tidak, pembiaran yang terjadi tanpa visi serta sikap bijak dengan solusi tuntas, hanya akan menciptakan degradasi yang menyebabkan degenerasi bangsa menuju suatu negara gagal.
Secara sadar para elite penguasa negeri memahami atas penguasaan akses informasi dalam lingkup kekuasaan. Perselingkuhan dalam pemilahan dan pemilihan akses informasi menjadi hal jamak berperilaku tebang pilih ketika eksekusi kebijakan penegak hukum tanpa ada roh rasa keadilan yang benar dengan otak unggul dan hati nurani. Contoh kasus terbaru, bagaimana mungkin akal sehat masyarakat dapat menerima ketika tak lama setelah Nazaruddin dicopot sebagai Bendahara Umum PD, masih sebagai anggota DPR, tapi telah berada di Singapura. Padahal Ketua KPK telah mewacanakan di media masa akan memeriksa dan memanggilnya dalam minggu ini juga.
Bersamaan dengan konsolidasi PD di rumah SBY selaku Ketua Dewan Pembina dan tepat pada hari Senin setelah menyambangi Ketua DPR Marzuki Ali, sehari sebelum keluar surat resmi pencegahannya, ternyata  Nazaruddin "berhasil" mengikuti 24 buronan lainnya yang telah duluan berada di luar negeri. Bayangkan ketika sang keledai sekurang-kurangnya telah 24 kali terperosok pada lubang yang mirip sama. Keledai macam apa yang tega melakukan perselingkuhan akses informasi berulang dan dipertontonkan secara telanjang kepada rakyat? Adakah mafia kasus dibalik langkah pembodohan dan pembohongan publik, ketika dunia kini berada di abad informasi? Siapakah sutradara dan penanggungjawab utama sebagai the ultimate decision maker hingga terus terjadi pengulangan yang sama kasus pelarian pelaku kejahatan dan KKN ke luar negeri? Jangan-jangan karena sering terjadi berulang kali, hal ini sudah merupakan suatu tradisi sebagai akibat hasil dari suatu konvensi!.
Pencegahan oleh generasi terkini agar tak terjadi degradasi, penyebab degenerasi bangsa yang bisa berakibat pada negara gagal, adalah dengan mentradisikan berpikir unggul hingga melampaui keunggulan tradisional. Tradisionalisme menghambat kemajuan berpikir anak bangsa. Mencegah terwujudnya kemakmuran dan pencerdasan seluruh komponen bangsa. Secara tradisi, sesungguhnya para penguasa tak pernah sungguh-sungguh berkeinginan kuat untuk mencerdaskan bangsa. Mental inlander masih terperangkap dalam diri penguasa. Tanpa sadar merasa sangat kuatir bila  pencerdasan meningkat secara merata, anak bangsa akan menggugat dengan cerdas kekuasaan oligarki yang dijalankan tanpa martabat,  otak unggul dan hati nurani.
Pada akhirnya terpulang kepada kita semua sebagai komponen bangsa untuk mau dan mampu bersikap berani dengan cerdas melampaui tradisi. Sungguh benar ungkapan bahwa : One man with courage can make a majority. Keberanian untuk mau dan mampu membuat suatu keputusan yang tegas dan cerdas pasti akan mendapat banyak sekali dukungan. Walau mungkin benar bahwa : Indecision is often worse than a wrong decision, tapi benar juga bahwa : The man who makes no mistakes does not usually make anything. Kalau begitu bolehlah kita bersikap dan berperilaku untuk tidak selalu mengikuti suatu tradisi. Berpikir tradisional yang bisa jadi tidak akan membuat kita menjadi bisa. Kecuali tradisi untuk terus berpikir unggul dan berani mengambil keputusan tegas karena benar. Sayangnya kini elite penguasa banyak yang berani malu, berani berbuat salah, berani berbohong dan berani bersikap pengejut alias tidak berani bertanggungjawab. Semoga menjadi sadar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H