Sikap dan perilaku manusia mengeksploitasi alam semesta menjadi warisan turun temurun berabad-abad lamanya. Berawal ketika desakan naluri untuk memenuhi kebutuhan bertahan agar kehidupan berlanjut, lalu terjadilah proses eksploitasi. Eksploitasi bisa bermakna usaha mendayagunakan berkah Tuhan sepenuh alam semesta untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Lalu dengan kesadaran tinggi para leluhur manusia sejatinya berupaya mencapai kemuliaan serta kebajikan hidup. Menjaga keseimbangan alam, melestarikan dan mempertahankan keberlanjutan alam semesta sebagai sumber kehidupan manusia dan anak-cucu-turunannya.
Perkembangan ilmu, pemanfaatan teknologi, perubahan lingkungan sosial ekonomi dan terjadi kulturisasi ataukah sebaliknya akulturisasi, membuat makna eksploitasi menjadi sangat egosentris. Eksploitasi alam semesta oleh dan untuk kemuliaan hidup bersama sesama umat manusia telah mengalami pergeseran makna. Manusia menjalani kehidupan dengan cara  saling memangsa, saling menghisap dengan memanfaatkan alam semesta termasuk manusia didalamnya, untuk sebesar-besarnya  keuntungan bagi diri sendiri, keluarga dan kroninya.
Tentu saja tidak ada yang salah ketika  keilmuan terus berkembang, teknologi semakin maju, lingkungan sosial ekonomi, dan pasti juga politik serta aktornya mengalami perubahan. Suatu yang wajar-wajar saja sesuai dan sejalan sunatullah. Bumi berputar, masa beredar seiring waktu, lalu semua makhluk ciptaan Tuhan mengalami proses perubahan, pergantian dan pada akhirnya menjalani kematian. Tak ada yang mutlak dapat dipastikan terjadi di alam semesta raya ini, kecuali perubahan itu sendiri. Persoalannya adakah perubahan yang terjadi membuat  kehidupan manusia selaras alam semesta menjadi lebih baik, lebih mulia, lebih agung, lebih beradab serta lebih manusiawi? Apakah "kemajuan" material dan tata kelola kehidupan kasat mata pisik manusia sejalan dengan kesadaran moral transendental?
Beberapa hari sebelum Nabi Muhammad Saw wafat, turunlah wahyu terakhir dari Allah Swt. Â Pemaknaan dan penafsiran secara syari'ah bagaimana mesti memahami wahyu terakhir al-Qur'an itu dalam praktik bermuamalah umat muslim tak pernah mencapai kesepakatan bulat hingga hari ini. Para sahabat tak punya kesempatan utuh menanyakan makna dan definisi ayat 275 sampai dengan 281 dari surat al-Baqarah kepada Nabi karena Beliau telah lebih dahulu menghadap Tuhannya, Allah Yang Maha Pencipta. Terjadi kekosongan makna sesungguhnya, sehingga setiap generasi muslim selanjutnya kemudian memiliki tafsiran yang cenderung bersifat kompromistis sesuai kemajuan ilmu, perkembangan lingkungan sosial-ekonomi, juga pengaruh informasi teknologi komunikasi.
Walaupun demikian, mungkin masih relevan pemaknaan ayat-ayat tentang riba itu dalam definisi seorang muslim keturunan Yahudi. Karena sebenarnya praktik riba awal tumbuhnya berlangsung dalam praktik agama Yahudi (Judaism). Nama aslinya Leopold Weiss yang kemudian  tahun 1926  memeluk agama Islam dan namanyapun berganti menjadi Muhammad Asad. Ia menuliskan kisah menarik tentang bagaimana proses dirinya memeluk Islam dan berada di dalam Islam untuk sebenarnya berperilaku islami dalam buku "Road to Mecca".
Saya kutipkan sebagian dari buku itu sebagaimana ditulis Imran N Hosein dalam buku "The Prohibition of Riba in the Qur'an and Sunnah" bahwa : "the severity with which the Qur'an condemns riba and those who practice it furnishes - especially when viewed against the background of mankind's economic experiences during the intervening centuries - a sufficiently clear indication of its nature and its social and moral implications. Roughly speaking, the opprobrium of riba (in the sense in which this term is used in the Qur'an and many sayings of the Prophet) attaches to profits obtained through interest-bearing loans involving 'an exploitation' of the economically weak by the strong and resourceful: 'an exploitation' characterized by the fact that the lender, while retaining full ownership of the capital loaned, and having no legal concern with the purpose for which it is to be used or with the manner of its use, remains contractually assured of gain irrespective of any losses which the borrower may suffer in conquence of this transaction".
Memang amat sangat sulit kita hidup dalam dunia modern kini, menjawab tuntas bagaimana mungkin secara moral syariah, manusia bisa murni berbagi laba sekaligus rugi, terjadi dalam kesetaraan suatu transaksi yang adil. Oleh karena dihadapkan ragam kesulitan pragmatis, maka yang terjadi sesungguhnya  adalah kompromi pemaknaan dan penafsiran definisi riba dalam transaksi ekonomi yang dikuasai para kapitalis. Tentu kepentingan-kepentingan pragmatis ikut menentukan, walau tak ada keraguan karena sudah bersifat final, tercantum jelas dalam al-Qur'an dan sunnah Rasul, tapi pemahaman itu berlaku, utamanya bagi orang-orang yang "bertaqwa".
Hasil kompromi yang kini dianut secara pragmatis di dunia muslim maupun manusia pada umumnya bahwa riba itu adalah "rente". Berlaku bagi orang atau badan hukum yang memungut bunga "berlebihan", hingga melanggar hukum atau peraturan (manusia) karena secara ilegal menetapkan suku bunga "tinggi". Â Tak ada lagi makna dan tafsir eksploitatif terhadap manusia yang satu dalam posisi lemah, oleh manusia lain yang lebih kuat selaku pemilik modal kekayaan/uang maupun berkuasa karena memegang jabatan publik. Eksploitasi kemanusiaan seorang manusia lemah oleh manusia kuat lainnya adalah naluri purba heiwani menjalani hukum rimba. Praktik pragmatis pasti akan berujung pada pengeksploitasian, penundukan dan perbudakan manusia atas manusia. Jelas itu bukanlah merupakan ajaran agama apapun karena pasti tak ada agama menyuruh bertindak tidak manusiawi.
Hasil kompromi pemaknaan dan penafsiran riba sebatas rente di dunia modern kini, bahkan semakin diabaikan dalam perspektif  halal-haram agama (pahala/dosa). Semakin banyak manusia serakah memburu rente, saling mengeksploitasi antar sesama umat manusia demi kepentingan diri, ego dan nafsu duniawi. Semua bermula dan berasal dari kompromi pemaknaan pemahaman dan penafsiran kata riba menjadi sekedar rente. Bahkan pencurian kinipun dinyatakan dengan bahasa eufemisme, menjadi sekedar "nakal". Begitu maraknya pencurian pulsa oleh provider bersama rekanannya, miliaran uang konsumen prabayar disedot dan dicuri, tapi para pengusaha-penguasa hanya menyebut sebagai tindakan nakal! Itu semua karena nafsu serakah yang telah menutup mata hati manusia sebab keliru memahami, menyikapi dalam perilaku makna satu kata "riba". Penyebab tunggal manusia mengeksploitasi manusia lain secara tak manusiawi. Percaya, bangkit dan sadarkah diri kita?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI