Mampukah Anda? Bisa, dapat, sanggup, atau kuasakah Anda untuk berbuat melakukan sesuatu? Kaya, berada, atau mempunyai harta berlebihkah Anda? Bersyukurlah kalau Anda sudah punya ukuran dan kriteria jelas mengenai makna mampu, agar bisa hidup sebagai manusia secara lebih manusiawi. Kalau belum punya, maka apa dan bagaimanapun kondisi Anda kini, apabila Anda menggunakan Premium, maka menurut tafsiran umum Anda adalah kurang mampu. Kementerian ESDM menyatakan premium hanya untuk yang kurang mampu! Begitu mungkin analogi paling sederhana bila tak  peduli, mau atau mampu menempatkan diri sebagai orang yang punya nalar dengan sedikit empati bagi sesama anak bangsa.
Setiap membaca spanduk yang terpampang di SPBU Pertamina belakangan ini, daya nalar dan kemanusiaan saya seakan diuji dan layak dipertanyakan, mampukah saya?.  Ketika saya perhatikan antrian mobil yang banyak mengisi premium ataupun bila ada satu dua yang mengisi pertamax atau pertamax plus, sungguh sulit saya mengukur apakah si pengendara mampu atau kurang mampu dari sisi materi. Kecuali beberapa mobil yang tampak memang membutuhkan atau diharuskan pembuatnya untuk menggunakan bahan bakar beroktan tinggi. Mungkin benar pemiliknya punya kekayaan di atas rata-rata pemilik mobil di negeri ini. Tentu tak perlu diusut lagi darimana asal muasal kekayaan seorang yang berhak tampil sebagai orang kaya. Terkesan tampil mewah dan bahkan amat sangat mewah bagi rakyat yang hanya mampu hidup dengan 1 atau 2 dolar AS sehari. Hidup terbatas pada penghasilan satu atau dua dolar AS itupun disebut mampu walau diawali hanya, sementara pengguna premium yang relatif lebih beruntung, bisa disamakan kurang mampu oleh Menteri ESDM . Mampukah kita?
Secara rasional, ketika orang membelanjakan uang yang didapat dengan jerih payah dan keringat sendiri akan berlaku hukum ekonomi dalam perspektif pembeli. Â Mencari dan membeli barang dengan harga semurah-murahnya dengan catatan pertimbangan kualitas menjadi nomor dua, bila beda tipis gunanya seperti premium dengan pertamax. Kecuali Anda tergolong orang yang memperoleh penghasilan dengan cara relatif mudah terkait dengan privilese kekuasaan, jabatan dan miliki hot money ataupun hasil money laundering. Bagi kelompok yang terakhir cenderung berlaku ease come ease go atau gampang dapatnya, gampang pula habisnya. Tapi banyak juga hlo koruptor di negeri ini, walau sudah keluarkan dengan gampang miliaran rupiah, seperti tak habis-habis sumber dana yang dikorup. Betul-betul aneh bin ajaib, karena sulit diterima akal sehat. Dalam kaitan rasionalitas pembeli, bagi orang kaya yang mobilnya harus menggunakan bahan bakar beroktan tinggi, akan lari ke SPBU asing yang lebih mampu menjual dengan harga dibawah pertamax dan pertamax plus. Akibatnya tentu saja jualan pertamax dan pertamax plus tak naik, penggunaan premiumpun tak turun. Kecuali bila tujuan kebijakan pemerintah memang sebagaimana terjadi kini di bidang keuangan, asuransi, telekomunikasi dan lain-lain yaitu membesarkan porsi asing. Mau dibawa kemana nasib bangsa dan rakyat yang cenderung semakin melarat, apabila para elite penguasa tidak mampu membangkitkan rasa empati terhadap penderitaan rakyat dari dalam dirinya?
Sudah bukan rahasia lagi kini banyak pertanyaan ataupun gugatan atas efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran negara yang katanya berpihak kepada rakyat. Banyak cerita tentang besarnya kebocoran anggaran yang terjadi di negeri ini, dibanding subsidi yang mungkin benar-benar dinikmati rakyat. Misalnya, belum ada kata putus dibangun, ditunda atau dibatalkan pembangunan gedung DPR, tapi duit yang ngocor sudah miliaran rupiah. Diambil atau atas beban mata anggaran mana yaa? Kata ketua DPR Marzuki Ali, kalau batal bangun gedung DPR, duitnya bakal ilang tak kembali.  Enuaak benar, bila pola penggunaan anggaran yang sejatinya berasal dari uang pajak rakyat cukup dengan kata ilang tak kembali. Belum lagi penggunaan anggaran untuk berwisata atau jadi turis abidin alias turis atas biaya dinas negara yang katanya studi banding ke luar negeri. Tapi itu baru di legislatif, coba saja itung bocoran anggaran yang terjadi di eksekutif melalui pola ber KKN-ria  ngumpulin dana atau bagi-bagi proyek untuk menggemukkan pundi kas partai agar bersiap tarung 2014. Maka semestinya setiap sen-rupiah pengeluaran uang yang berasal dari pajak rakyat, harus dimintai pertanggungjawaban dunia oleh rakyat. Kalau tidak, maka di akhirat nanti pasti pula akan dimintai pertanggungjawabannya secara moral dan spiritual.  Apalagi pengeluaran itu tak memberi nilai tambah  bagi kesejahteraan rakyat atau tidak digunakan untuk membangun sarana dan prasarana yang memudahkan hajat hidup rakyat banyak.
Berempati itu maksudnya punya kesadaran, memiliki mental mampu membuat seseorang mengindentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Jadi kalau kita tak bisa menempatkan diri atau merasakan bagaimana perasaan dan pikiran orang lain dalam diri kita, sulit menumbuhkan rasa empati. Tanpa ada rasa empati kepada masyarakat, rakyat dan memahami kondisi realitas empiris bangsa ini, maka slogan ataupun spanduk dan iklan televisi yang berbiaya besar dari Kementerian ESDM terkesan hambar. Bisa saja ditafsirkan dan dibaca dalam perspektif  para pengguna premium secara psikologis sebagai merendahkan karena dinyatakan secara tertulis sebagai masyarakat kurang mampu. Terlepas dari maksud baik sasaran peruntukan premium bersubsidi bagi umum kelas bawah dan hemat anggaran, tetapi para pengguna premium tentu banyak merasa tertohok ulu hatinya ketika membaca spanduk tanpa empati. Maksud baik itu ibarat mengajak orang banyak melakukan amal baik, namun dengan cara mengganggu kenyamanan orang. Memasang spanduk di SPBU Pertamina itu sama kelasnya dengan memasang plank di atas drum di tengah jalan raya di kampung bahkan di kota. Plank itu berbunyi "amal jariah". Tujuannya mungkin baik, tetapi dilakukan dengan menghambat jalan umum bahkan tak jarang membuat macet jalan yang semakin ramai dan padat. Selain kebijakan yang diambil terkesan kurang bijak, dalam praktik dilapangan menjadi tidak mangkus dan sangkil karena tak banyak yang menggubris atau melaksanakan himbauan itu. Justru yang agak  jelas tertangkap ada aroma arogansi kekuasaan belaka. Mungkin terinspirasi spanduk polisi  yang bernada seperti putus asa mengamankan warga dan harta bendanya, berbunyi:  Awas Anda memasuki wilayah rawan pencurian kendaraan bermotor, pasang kunci ganda!. Bukan rasa aman dan nyaman yang hadir, tetapi rasa kecut dan was-was dalam hati ketika menjalankan aktivitas sebagai warga sipil yang beradab. Mari kita coba sadari dengan memahami dan menumbuhkan rasa empati kepada rakyat yang tak berkuasa dan lemah aksesnya. Semoga wujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H