Kemuliaan dan kehormatan kita sebagai manusia sesungguhnya tercermin dari sikap dan perlaku sehari-hari. Sikap dan tingkah laku seseorang yang apa adanya, tak dibalut kepalsuan merupakan pengejawantahan dari potensi, kapasitas dan kemampuan berpikir otak dan pendayagunaan kebenaran hati nurani diri sendiri.
Semenjak jaman jahiliyah, manusia terus berubah memperbarui dan memperbaiki ketrampilan hidup. Mengejar dan mendalami ilmu pengetahuan tentang manusia dan alam semesta. Beranjak  dari kebodohan, ketidaktahuan, keterbelakangan dengan dorongan keingintahuan  terus berproses mencari jati diri sejatinya.
Manusia bertumbuhkembang memenuhi hasrat dan naluri heiwani untuk bertahan hidup, mencukupi kebutuhan rasa lapar jasmani, serta memuaskan kehendak rohani manusiawi dalam diri. Mencari dan terus mencari kesempurnaan, mendayagunakan sepenuh daya kapasitas berpikir selaras dengan kebenaran hati nurani. Berjuang mengendalikan emosi seiring naluri dan intuisi dorongan spiritualitas ilahiah dalam diri.
Ketika sumber daya alam memberikan tempat dan kesuburan dalam memenuhi kebutuhan makan manusia, maka dengan berbagai daya upaya mempertahankan domisili menjadi wilayah kekuasaan "miliknya". Saling bertahan, menyerang berharap mampu mengalahkan lawan, berebutan tempat dan makanan fight or flight.
Ketika kekuatan lawan ternyata lebih kuat dan sadar tak lagi mampu menghadapi musuh, maka pilihannya hanya melarikan diri. Mampukah bertahan hidup bila menyadari melawan akan berujung pada kematian?. Semua berjalan naluriah, instingtif untuk bertahan hidup ditambah "sedikit" pengalaman dan ketrampilan menghadapi "lawan". Namun sejatinya musuh terbesar sungguh berada dalam diri sendiri, berupa ego diri, nafsu berkuasa, melampiaskannya tanpa kendali, mengumbar syahwat mencari kepuasan diri sendiri.
Maka itulah yang disebut sebagai kendali diri manusia telah ditundukkan oleh kemampuan, kemauan dan juga kebingungan otak jahiliyahnya. Kehilangan kebenaran hati nurani terperangkap seturut nafsu heiwani. Sungguh manusia yang menjalani praktek tunduk pada nafsu dengan bersikap dan berperilaku heiwani tak layak disebut "Yang Terhormat". Â Mereka masih dalam taraf mengandalkan kemampuan otak jahiliyah, bertindak atas dasar insting, tercermin dari kondisi otak dan hati nurani yang terjebak pada siklus 4F.
Otak 4F hanya berpikir, berinisiatif  mendorong berbuat berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasar saja. Belum mampu mencapai tujuan lebih mulia untuk berbelas kasih, saling menghormati sesama manusia secara manusiawi. Otak 4F hanya hidup untuk sekedar terpenuhinya kebutuhan dan terpuaskan keinginan yang didorong nafsu serakah, menguasai, mengeksploitasi diri sendiri dan orang lain sembari tak peduli kehormatan, harkat dan martabat jati diri kemanusiaannya jatuh terjerembab ketitik nadir. Manusia itu telah kehilangan rasa, karsa, cipta dan karya mulia kemanusiaan, lenyap tergantikan sifat-sifat heiwani.
Semua hewan secara insting dan naluri keheiwanannya memiliki semua sifat-sifat 4F. Pemaknaan dari fooding, upaya dan perjuangan mendasar untuk bertahan memenuhi kebutuhan makanan dan melanjutkan kehidupannya. Cara-cara mendapatkan, memperoleh bekal bertahan dan melanjutkan kehidupan tak jarang harus dilakukan dengan fighting, menundukkan, menyerang  dan mengalahkan saingan berebut makanan. Dan ketika ternyata saingan jauh lebih kuat, tak ada jalan lain kecuali mengelak, melarikan diri mencari selamat. Terlepas dari rasa pengecut, bertahan hidup dalam fleeing, tentu lebih baik dari pada kematian. Namun secara naluri, instingtif  kebinatangannya tetap melanjutkan kehidupan berkembang biak dengan mengumbar nafsu syahwat, bahkan dengan cara-cara free-sex tak terkendali pikiran, akal budi dan hati nurani nan manusiawi. Wong namanya juga heiwani, boro-boro berpikir dan bertindak manusiawi!.
Nah...ketika, apabila ada diantara kita yang terjebak, terperangkap dalam lingkar siklus 4F, lebih-lebih lagi kejadian free-sexnya menimpa orang-orang yang mengaku "Yang Terhormat", apakah layak kita hormati?? Maka kembali pada awal tulisan, sikap dan perilaku kitalah membuat kita layak dihormati! Bagaimana mungkin mendapatkan kehormatan, tanpa kinerja, prestasi kerja tindak tanduk dalam bersikap perilaku masih sebatas heiwani. Tanpa peduli sesama manusia dan belum mampu mewujudkan kecerdasan berpikir, kendali mental dan emosional, serta kemuliaan hati nurani seturut spiritual ilahiah nan manusiawi?. Â Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H