Minggu pagi ini semoga lebih cerah semuanya, agar kita lebih bisa tercerahkan. Hidup menjadi lebih cerah ketika pikiran yang membentuk persepsi dan pemahaman kita melihat segala sesuatunya dengan cerah. Yaa iyalah..ketika semalam tidur lebih awal, bangunnya jadi kepagian. Yang penting kebutuhan tidur, istirahat dan pemulihan diri terpenuhi. Ndak papalah...kan bisa ada waktu lebih buat nulis dan berbagi pemikiran di Kompasiana. Thanks Admin!
Negara dan bangsa kita amat sangat banyak dipenuhi dengan ragam paradoks. Katanya pemerintah belum punya anggaran cukup membiayai birokrasi dan pegawai secara layak untuk benar menjalankan good governance. Tiap tahun APBN ribuan triliun rupiah disepakati, namun ketidakcukupan dana untuk menggaji pegawai agar hidup layak menjadi paradoks dengan kebocoran APBN yang masih sekitar perkiraan begawan Ekonomi Soemitro. Yaa dulu sih bocornya diperkirakan masih sekitar 30%, tapi dengan peningkatan APBN angka mutlak bocornya juga jadi meningkat. "Saya siap menghunus pedang dan akan berdiri paling depan dalam memberantas korupsi!" Itu kan bukan saya yang berjanji dan berucap, tapi kompasioner pasti sudah tahulah siapa penguasa negeri ini yang punya ultimate decision maker untuk menghitam-putihkan negeri. Siapa lagi kalau bukan SBY, Pembina Partai Demokrat yang kini dipercaya rakyat dan bangsa jadi Presiden RI. Paradoksnya jadi tanda tanya; Mengapa banyak pejabat negara yang notabene dalam kendali SBY berurusan dengan KPK? Mengapa pula petinggi partai terbesar pemenang pemilu yang menjabat Kepala Daerah banyak tersangkut masalah hukum terkait Tipikor?  Kok bisa Sekretaris Menegpora jadi tersangka KPK? Apa masih diperlukan izin-izin Presiden untuk dapat periksa para tersangka KKN yang masih menjabat Kepala Daerah, apabila ada kesamaan dan kesetaraan kita di depan hukum? Kok tega-teganya para elite anggota DPR menghianati kepercayaan pemilihnya dengan melakukan kebohongan publik sebagaimana sering diungkap ICW dan berperilaku pemborosan anggaran, bangun gedung mewah dan wisata ke luar negeri?  Sebenarnya prioritas kerja dan visi pemerintah (Eskekutif, Legislatif dan Yudikatif) dalam upaya memakmurkan dan mencerdaskan bangsa bertujuan apa dan untuk siapa yaa? Lebih spesifik seriuskah pemerintah mencegah kebocoran APBN, menjalankan fungsi-fungsi good governance, menuntaskan pelaksanaan reformasi birokrasi dan menghindarkan keberlanjutan oligarki rezim?
Kalau APBN belum mampu membiayai gaji pegawai secara layak, efektifkah dan sudah tepat sasarankah pemberian remunerasi terbatas kepada beberapa Kementrian, sementara dibanyak Lembaga Negara dan aparatur birokrasi pemerintahan masih berteriak kekurangan penghasilan resmi sebagai pegawai. Kok reformasi birokrasi hanya ditafsirkan sebatas pembagian remunerasi yang rasa-rasanya kok kurang fair dan tidak ada kesetaraan serta kebersamaan senasib sepenanggungan kalau dikaitkan dengan kinerja? Contoh kasus Gayus Tambunan dengan perolehan remunerasi 600% atau enam kali gaji resminya, toh tetap melakukan abuse of power. Di swasta, Â Malinda Dee yang punya penghasilan bulanan setara Presiden RI dengan bonus seperempat miliar rupiah tiap tiga bulan toh masih merasa kurang cukup! Adakah yang salah dalam sistem nilai, paradigma, mentalitas dan moralitas bangsa ini? Bandingkan dengan penerimaan profesor yang menulis surat pembaca sebagai PNS golongan pangkat setinggi IVE dengan masa kerja 27 tahun hanya bawa pulang Rp4,7 juta? Bahkan seorang pakar politik yang tidak asing lagi dari LIPI beberapa kali mengeluhkan gaji para peneliti walau telah berdinas puluhan tahun dengan golongan pangkat yang tinggi.
Faktanya ketika lowongan PNS dibuka, ribuan pelamar tetap menyerbu berebut tempat yang semakin sesak dengan berbagai polusi. Mungkin para pelamar balon PNS perlu menyadari kecilnya penghasilan resmi yang berkah dan halal di birokrasi pemerintahan. Kecuali spiritnya selain harapan terima jaminan pensiun, masih juga berharap ada posisi basah dan kering atau olok-olokan di DPR adanya komisi mata air dan air mata. Haree gini masih berharap KKN, upeti dan penghasilan ndak resmi dari posisi pegawai negeri, apa kata dunia?
Ketika anak muda kini ditanya tantenya : " Vis, kok ndak melamar jadi PNS sih, kan lagi ada lowongan?". "Bekerja itu kan yang penting berkah (barokah), takutnya klo diangkat jadi PNS dianggap "magabu"". Hlo apa itu maksudnya magabu?". "Teman-teman sih banyak beranggapan kalau jadi PNS, takut kurang barokah bagi anak cucu karena penghasilan resmi-tak resminya seolah "makan gaji buta". "Aah... tak semua PNS begitulah, masih banyak yang nrimo apa adanya yang sah dan hidup sederhana". Saya ikut nimbrung : " Sebenarnya kalau niatnya curang tidak hanya jadi PNS, dibanyak Lembaga pemerintah, BUMN, swasta juga ada kok. Kalau dulu negara kita masih punya GBHN, maka para staf ahli, komisaris, pemegang jabatan ex officio, pake nama, numpang beken juga distilahkan GBHN, yang suka diplesetkan jadi Gaji Besar Hanya Nongkrong". "Kini GBHN sudah ndak jaman lagi, hanya saja mencari PNS gaya Oemar Bakri sebagai Pegawai Numpak Sapeda sudah semakin sulit. PNS yang hidup sederhana sudah semakin langka, karena kalah sama yang bergaya  PNMM alias Pegawai Naik Mobil Mewah, semoga saja dari penghasilan yang halal wal barokah. Amiin.  Klo kurang barokah...see image.      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H