Mohon tunggu...
GINA SULISTIANA
GINA SULISTIANA Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223110041

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quiz 11 - Diskursus Sigmund Freud dan Fenomena Korupsi di Indonesia

23 November 2024   18:50 Diperbarui: 23 November 2024   20:39 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Why: Krisis Moral dan Korupsi Relevan dengan Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Krisis moral yang terjadi akibat maraknya kasus korupsi, relevan untuk dianalisis melalui teori psikoanalisis Sigmund Freud karena perilaku tidak etis yang mendasari korupsi mencerminkan dinamika kompleks antara id, ego, dan superego dalam kepribadian manusia. Kondisi ini mempengaruhi dominasi "superego" terhadap "id" di alam bawah sadar manusia seperti keserakahan dan keinginan yang bersifat konsumtif untuk memperkaya diri dengan memperoleh kenikmatan secara instan, yang mengesampingkan nilai moral dan etika. Dalam konteks psikoanalisis, lemahnya pengaruh superego juga muncul karena lingkungan yang permisif terhadap tindakan korupsi, seperti budaya nepotisme atau kurangnya penegakan hukum.

Dengan begitu, psikoanalisis memberikan kerangka untuk memahami bagaimana konflik antara alam bawah sadar (id) dan nilai-nilai moral (superego) yang berujung pada tindakan korupsi. Ego, yang berperan sebagai mediator, sering kali tertekan oleh pengaruh lingkungan sosial yang permisif, sehingga rasionalisasi tindakan korupsi menjadi pembenaran yang mudah diterima dan menjadi terealisasi secara tidak adil bagi orang banyak.

How: Teori Psikoanalisis Sigmund Freud dapat Dikaitkan dengan Kasus Korupsi di Indonesia

Dalam teori kepribadian psikoanalisis Freud, energi psikis yang mendorong perilaku manusia berasal dari "id", "ego", dan "superego". Id bertindak sebagai sumber energi primal yang mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan dasar dan bertahan hidup, dan hal ini sering kali dilakukan tanpa memikirkan dampaknya bagi orang lain atau norma sosial. Ego berfungsi untuk menyeimbangkan dorongan id dengan kenyataan dunia sekitar, mencari cara realistis untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Superego, di sisi lain, berperan sebagai penjaga moralitas dan etika, yang memberikan batasan pada apa yang dianggap benar atau salah.

Menurut Freud dalam teori psikoanalisis nya, perkembangan masa kanak-kanak sangat penting penerapan edukasi nya karena menjadi penentu bahwa pengalaman dan interaksi awal dengan orang tua dan lingkungan sekitar yang akan membentuk struktur kepribadian individu di masa dewasa.  Freud mengemukakan bahwa konflik-konflik yang belum terselesaikan selama masa kanak-kanak, terutama yang berkaitan dengan hubungan keluarga dan rasa aman, dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang saat dewasa. Misalnya, pengalaman traumatis atau pengabaian bisa mempengaruhi cara individu mengelola dorongan "id", "ego", dan "superego" mereka di kemudian hari. Sigmund Freud  mampu menganalisis perkembangan kepribadian tersebut yang terbentuk dan dibangun melalui lima tahap psikoseksual, di mana setiap tahap berfokus pada zona erogen tertentu (Busthan, 2020) :

  • Oral (0-1 tahun):
    Kepuasan didapat melalui aktivitas oral, manusia dapat merasakan kenikmatan dengan menggunakan mulutnya seperti mengisap atau menggigit. Seorang bayi pada tahap ini, sering kali memasukkan benda yang dipegangnya kedalam mulut karena sifat penasaran akan kenikmatan rasa. Tahapan ini erat kaitannya membangun hubungan emosional pengasuh. Pola asuh yang konsisten dapat menumbuhkan rasa aman dan percaya diri, sedangkan pola asuh yang tidak stabil berisiko memicu rasa cemas atau ketergantungan berlebihan.

Jika tahap ini tidak terselesaikan baik, maka akan tercermin di masa dewasa sebagai sifat ketergantungan tinggi atau agresivitas, seperti mencari kepuasan instan atau perilaku manipulatif. Dalam konteks korupsi, ini terlihat pada praktik nepotisme, eksploitasi hubungan, atau taktik manipulasi untuk mencapai keuntungan pribadi. Pengalaman masa kecil yang kurang mendukung pembentukan moralitas dan rasa percaya diri bisa menjadi faktor penyebab perilaku tidak etis, seperti korupsi.

  • Anal (1-3 tahun): 
    Pada tahap ini, anak memperoleh kenikmatan ketika mengeluarkan sesuatu dari anusnya dan menyukai tumpukan kotoran, sehingga senang berlama-lama ditoilet. Tahapan ini memerankan pentingnya posisi orang tua untuk memberikan edukasi tentang mengontrol buang air besar, yang berhubungan dengan pengendalian dan disiplin diri yang biasa disebut dengan “toilet training”. Dengan bimbingan yang tepat, anak dapat berkembang menjadi individu yang mandiri, disiplin, dan mampu mengendalikan dorongannya.

Namun, jika orang tua terlalu ketat atau terlalu permisif, anak dapat mengembangkan karakter yang perfeksionis (anal-retentive) atau kurang disiplin (anal-expulsive).

Pada tahap dewasa, pengalaman negatif ini dapat tercermin dalam perilaku impulsif, pelanggaran aturan, atau obsesif terhadap kontrol dan kekuasaan. Dalam konteks korupsi, lemahnya kontrol internal dapat mendorong seseorang mengejar keuntungan instan tanpa memikirkan moralitas, sedangkan sifat perfeksionis terdistorsi dapat melahirkan manipulasi untuk memenuhi ambisi pribadi.

  • Phallic (3-6 tahun): 
    dalam teori psikoseksual Freud merupakan fase penting dalam perkembangan moral dan identitas diri. Pada tahap ini, anak mulai memahami perbedaan jenis kelamin dan mengembangkan keterikatan emosional dengan orang tua lawan jenis, yang dikenal sebagai Oedipus complex (pada anak laki-laki) atau Electra complex (pada anak perempuan). Anak laki-laki mungkin merasa cemburu atau bersaing dengan ayahnya, sementara anak perempuan mungkin mengalami konflik serupa dengan ibunya.

Konflik yang tidak terselesaikan pada tahap ini dapat memengaruhi pembentukan superego, yaitu komponen moral kepribadian yang membantu individu membedakan antara benar dan salah. Jika superego tidak berkembang dengan baik, individu dapat mengalami kesulitan dalam mengendalikan dorongan dan keinginan, yang berpotensi menyebabkan perilaku tidak etis di masa dewasa.

Tahap ini juga menjadi dasar pembentukan nilai-nilai sosial, seperti rasa hormat terhadap aturan dan otoritas. Interaksi yang sehat dengan kedua orang tua memungkinkan anak menginternalisasi batasan moral, yang nantinya menjadi landasan perilaku bertanggung jawab. Namun, jika hubungan dengan orang tua tidak sehat, anak mungkin tumbuh dengan sikap permisif atau melawan norma sosial.

  • Latensi (6-12 tahun): 
    Pada masa ini, interaksi dengan teman sebaya dan figur otoritas seperti guru berperan besar dalam membentuk identitas sosial dan norma etika. Lingkungan yang mendukung dapat membantu anak mengembangkan rasa tanggung jawab dan empati. Sebaliknya, lingkungan yang negatif atau tidak konsisten dalam menanamkan nilai-nilai moral dapat melemahkan pemahaman anak tentang integritas dan etika.

Jika tahap ini tidak berhasil mendukung pembentukan moralitas yang kuat, individu di masa dewasa bisa lebih rentan terhadap godaan seperti korupsi, karena dorongan impulsif tidak mendapat kontrol yang baik dari superego. Sebaliknya, pendidikan moral yang matang selama tahap latensi dapat menjadi tameng terhadap perilaku tidak etis, dengan memperkuat pengaruh superego dalam menjaga keseimbangan antara id dan ego.

  • Genital (12 tahun ke atas): 
    menurut Freud fase ini menandai puncak perkembangan kepribadian, di mana individu mulai menunjukkan kematangan seksual, emosional, dan sosial. Fokus utama bergeser dari kepentingan pribadi ke hubungan interpersonal yang lebih kompleks, seperti menjalin hubungan romantis atau membangun kerja sama dalam lingkungan sosial.

Keberhasilan pada tahap ini membutuhkan penyelesaian konflik dari tahap sebelumnya. Individu yang berhasil akan menunjukkan tanggung jawab dalam mengelola dorongan emosional dan seksual, mengintegrasikan nilai etika dalam tindakan, serta menciptakan hubungan yang konstruktif. Namun, kegagalan dalam mengatasi konflik dapat menghasilkan perilaku egois, kurang empati, atau instabilitas emosional.

Dalam konteks korupsi, individu yang tidak mampu mengendalikan dorongan pada tahap genital cenderung mencari kepuasan material atau kekuasaan tanpa memedulikan dampak negatifnya terhadap orang lain atau masyarakat. Mereka mungkin memprioritaskan keuntungan pribadi atau kesenangan sesaat, mengabaikan nilai moral dan etika. Sebaliknya, individu yang memiliki perkembangan moral yang matang pada tahap ini cenderung bertindak dengan integritas dan menghargai kepentingan bersama. Pendidikan moral dan penguatan nilai etika di masa muda sangat penting untuk membentuk karakter yang bertanggung jawab, yang dapat menahan godaan perilaku tidak etis, termasuk korupsi.


Perkembangan kepribadian yang terganggu pada masa kanak-kanak dapat membawa dampak besar pada kepribadian seseorang saat dewasa. Ketika terjadi fiksasi pada tahap perkembangan tertentu, individu akan membawa sifat-sifat tersebut hingga dewasa. Misalnya, pada tahap anal, hambatan dalam mengendalikan dorongan untuk kepemilikan berlebihan bisa menyebabkan kecenderungan keserakahan dan obsesi terhadap kekayaan materi, yang sering kali tercermin dalam perilaku korupsi.

Begitu juga pada tahap phallic, kegagalan dalam perkembangan identitas dan pengendalian dorongan dapat memunculkan dorongan egois yang mendominasi, memperburuk perilaku kompetitif yang tidak sehat dan mementingkan diri sendiri. Dalam konteks korupsi, hal ini menunjukkan bagaimana pemikiran yang terhambat atau belum matang mengarah pada tindakan yang mengabaikan etika atau nilai-nilai moral, seperti keserakahan dalam meraih uang dan kekuasaan tanpa memperhatikan dampaknya pada orang lain.

Dengan demikian, individu yang mengalami hambatan pada tahapan perkembangan psikoseksual ini cenderung memiliki pola perilaku yang lebih impulsif dan kurang mempertimbangkan konsekuensi moral dari tindakan mereka. Dalam hal ini, seorang koruptor bisa dipandang sebagai individu dengan perkembangan moral yang terhambat, di mana hasrat untuk memperoleh keuntungan pribadi mendominasi, meskipun hal itu dilakukan dengan cara yang tidak etis.

Konflik antara "id" (dorongan bawah sadar) dan "superego" (nilai moral internal) sering kali menciptakan ketegangan dalam diri individu. "Id" berfokus pada kepuasan instan dan kebutuhan pribadi, seperti keserakahan atau nafsu untuk kekayaan, tanpa mempertimbangkan norma sosial atau moral. Superego, di sisi lain, menuntut perilaku yang sesuai dengan prinsip etis dan moral. Ketika ego, yang berfungsi sebagai mediator antara keduanya, gagal menyeimbangkan keduanya, individu cenderung melakukan rasionalisasi atau pembenaran terhadap perilaku menyimpang, seperti korupsi, untuk memenuhi keinginan id tanpa merasa bersalah.

Oleh karena itu, keseimbangan antara Id, Ego, dan Superego sangatlah penting dalam pembentukan kepribadian yang sehat. Ketidakseimbangan, seperti dominasi satu elemen atau kelemahan dalam elemen lainnya, dapat menyebabkan ketegangan internal yang mengarah pada perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Misalnya, ego yang lemah mungkin kesulitan untuk menahan dorongan dari "id" yang kuat atau menanggapi tuntutan moral dari "superego", yang akhirnya bisa memicu tindakan tidak etis atau penyimpangan perilaku. Keseimbangan ini membantu individu untuk bertindak dengan bijaksana, mempertimbangkan dampaknya terhadap diri sendiri dan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun