Halo, Sobat Sejarah!
Sejarah perdagangan Nusantara tidak dapat dilepaskan dari aspek maritim. Kalau kata Dosen mimin, jika sekarang 'jalan raya'nya ada di darat, dulu malah ada di laut. Laut menjadi jalur transportasi utama masyarakat, lho. Kebayang, nggak ramainya laut dengan kapal pedagang lokal hingga global?Â
Salah satu yang menarik untuk dibahas dari sejarah maritim Nusantara adalah peranan bandar Bima. Ada yang sudah tahu Bima? Kalau belum, sini-sini mimin kasih tahu
Bima adalah sebuah wilayah yang berada di ujung timur pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Bandar Bima terletak di posisi strategis yang memungkinkan bandar dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari berbagai wilayah. Bandar sendiri merupakan tempat untuk kapal bersadar, berlabuh, naik turun penumpang, hingga bongkar muat barang.
Bima memiliki sumber daya alam yang melimpah, contoh komoditas pertanian yang diperdagangkan antara lain padi, jagung, bawang, kacang hijau, dan kemiri. Pada masa pemerintahan Manggampo Donggo abad ke-17, Bima telah berhasil menjadi gudang beras dikawasan Selatan. Hutan di wilayah Bima kebanyakan ditumbuhi pohon asam dan jati, disusul kayu sapan, pohon jarak, dan bingkuru.
Sementara hasil peternakan yang khas dari Bima adalah kuda. Pada masa itu, Bima merupakan daerah penghasil kuda terbaik Nusantara, lho. Meskipun ukuran tubuhnya kecil jika dibandingkan dengan wilayah lain, tetapi kuda Bima dapat memikul beban yang berat dan kuat. Tahun 1820 kuda diekspor sebanyak 100 ekor, tahun 1829 sebanyak 253, tahun 1833 sebanyak 229, tahun 1845 dan 1846 masing-masing 948 dan 872 ekor. Berdasarkan laporan Freijss (1854) menyebutkan bahwa Bima mengekspor kuda sebanyak 300 ekor setiap tahunnya. Funfact-nya, selain untuk membawa keperluan, kuda juga digunakan sebagai tunggangan untuk Raja, Bangsawan, dan Panglima perang. Beberapa kerajaan besar seperti Majapahit dan Singasari bahkan menggunakan kuda Bima untuk memperkuat armada militernya, seperti yang dijelaskan dalam Negara Kertagama.Â
Sementara pendatang, pedagang dari bagian barat banyak membawa kain, pisau, pedang, tembikar Cina, timah hitam, air raksa dan manik-manik berwarna (Lapian, 2008). Bima menerima barang yang diimpor dari daerah asing seperti kain sutera, benang-benang Eropa, barang-barang dari tanah, besi dan tembaga, barang-barang kelontong, minuman arak dan brendi, candu, gambir, rotan, senapan mesiu, timah, uang logam Cina, gula, cokelat, dan sirup (Siti Maryam, 2004).
Yang menarik dari Bima adalah, Kesultanannya memiliki undang-undang yang mengatur perdagangan dan pelabuhan. Pada kepemimpinan Sultan Abdul Hamid, hukum dan peraturan sudah mulai dicatat dan didata. Pada tahun 1797, Sultan memerintahkan juru tulisnya untuk mencatat dalam Bo' Sangaji Kai, sebuah kitab undang-undang yang didalamnya terdapat 119 pasal tentang peradilan, tata sosial, pertanian, hukum perdata dan hukum pidana. Secara umum buku ini meliputi: bab I mengenai Hukum Adat, bab II mengenai Hukum Syahbandar/Dagang, dan bab III mengenai Hukum Agama serta Titah Duli Yang Dipertuan sebagai pelengkap. Dalam aspek perdagangan maritim, buku ini membahas mulai dari peraturan pelayaran tentang kecelakaan, izin penumpang, bea cukai, peraturan keluar masuk bagi masyarakat Bima, Â peran syahbandar, dan lain-lain.
Agar proses perniagaan berjalan baik, Sultan mengangkat seorang Syahbandar. Tugasnya mengawasi timbangan, ukuran dagang, dan mata uang yang dipertukarkan. Kalau ada perselisihan di atas kapal yang berlabuh di pelabuhan Bima, syahbandar-lah yang bertindak sebagai penengah. Ia juga bertugas sebagai perantara atau penghubung antara pedagang dengan penguasa setempat.
Kesultanan Bima benar-benar mengatur proses perdagangan dan aspek maritimnya dengan terencana. Menjadikan bandar Bima sebagai bandar yang bebas bagi para pedagang Melayu, Bugis-Makassar, serta pedagang pribumi lainya. Sultan Bima juga menetapkan pajak yang tidak memberatkan, lho. Tidak hanya izin berniaga, masyarakat luar seperti dari Makassar dan Bugis bahkan diizinkan untuk mendirikan perkampungan-perkampungan di wilayah kesultanan Bima. Â