Mohon tunggu...
Ginanjar Hambali
Ginanjar Hambali Mohon Tunggu... Guru - Guru Ekonomi

Saya mengajar di SMA. Selain aktivitas mengajar, sesekali saya menulis, dan sering berkebun.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Menengah di Kampung Kami

30 Juni 2024   21:45 Diperbarui: 30 Juni 2024   22:11 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Banten Selatan. Sekarang, hampir di tiap kecamatan berdiri sekolah menengah atas. Sekolah swasta atau negeri, maupun keduanya. Menunjukan akses pendidikan menengah semakin dekat. Anak desa tidak harus pergi meninggalkan kampung halaman, untuk melanjutkan sekolah.

Sebelum berdiri sekolah menengah atas negeri di kecamatan kami, yang tidak jauh dari kantor kecamatan itu, biasanya yang ingin melanjutkan pendidikan harus pergi ke ibukota kabupaten. Dari ibu kota kecamatan ke ibukota kabupaten jaraknya sekitar 55 Kilometer, serta jarak ke ibukota provinsi 75 kilometer.

Jarak tempuh puluhan kilometer, transportasi umum yang sepi, dan jalan yang belum sebaik sekarang, tentu tidak mungkin pulang pergi ke sekolah tiap hari. Tinggal di rumah saudara, atau indekos, dan atau mondok di pesantren menjadi pilihan terbaik.  Indekos adalah tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan. Ada juga yang memilih mondok atau ikut tinggal di pondok pesantren.

Soal mondok ini, ada yang sebenarnya ingin sekolah sambil belajar ilmu agama di pesantren dan atau lebih kepada biaya tinggal di pondok lebih murah. Waktu itu, santri biasanya hanya dipungut iuran biaya listrik. Sebab itu, dikenal dengan sebutan sekolah sambil mondok.

Saat itu, belum dikenal istilah sekolah gratis. Tiap bulan masih dikenakan biaya Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan atau biasa disebut SPP. Kalau di sekolah swasta ada juga biaya bangunan. Jadi, selain harus membayar iuran sekolah, orang tua juga harus menanggung biaya indekos dan atau biaya mondok, dan biaya kehidupan sehari-hari seperti makan.

Akhir pekan atau akhir bulan, ketika anak-anak mau berangkat kembali sekolah, menjadi cerita tersendiri bagi orang tua. Bagi yang sudah ada uang tidak begitu masalah, bagi yang belum punya harus bisik-bisik ke saudara dan atau tetangga untuk meminjam uang.

Teringat cerita paman saya, hanya untuk menyekolahkan anak tingkat sekolah menengah atas, terpaksa menjual beberapa kotak sawah warisan. Begitu mahal biaya yang harus dikeluarkan orang tua. Hanya puluhan anak dari kecamatan kami, yang bisa dan mampu untuk melanjutkan pendidikan sampai sekolah menengah, pada waktu itu.

Sebab itulah, sejumlah tokoh masyarakat meyakinkan pemerintah kabupaten untuk segera mendirikan sekolah menengah. Tahun 1996, berdirilah sekolah menengah atas, di kecamatan kami. Seiring waktu, sekolah yang awalnya hanya memiliki dua ruang belajar itu semakin berkembang.

Peserta didik terus bertambah. Ruang-ruang kelas terus dibangun, tidak ada lagi ruangan yang tersisa untuk mendirikan kelas baru diatas lahan yang dulunya lapangan sepakbola tersebut. Guru-guru semakin banyak. Fasilitas semakin lengkap. Meningkatnya jumlah peserta didik, juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah; sekolah untuk semua.

Tidak ada lagi istilah iuran wajib yang harus dibayar orang tua ke sekolah. Bagi keluarga yang tidak mampu, tersedia program indonesia pintar atau Program Indonesia Pintar atau PIP. Tentu saja, masih banyak peserta didik yang seharusnya dapat menerima PIP. Tapi, dengan meningkatnya kuota tiap tahun, maka bertambah pula jumlah peserta didik yang menerima PIP.

Sayangnya, sekolah gratis yang bertujuan agar setiap anak bisa sekolah, seringkali dimaknai lain. Semangat belajar sebagian anak kurang. Dorongan orang tua, belum maksimal. Padahal, biaya yang digunakan untuk membangun sekolah tidaklah sedikit. Biaya yang dikumpulkan negara dari iuran wajib warganya yang disebut; pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun