Mohon tunggu...
Gina Gustina
Gina Gustina Mohon Tunggu... -

Manusia pembelajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Luar Sekolah Membelajarkan Orang-orang "Kurang Ajar"

10 Mei 2013   09:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:49 2452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Anda mungkin tidak terlalu mengenal jenis pendidikan luar sekolah. “memangnya ada ya pendidikan macam begitu?” mungkin kira-kira seperti itu pertanyaan Anda. Atau yang seperti ini, “pendidikan luar sekolah? wah, ora ngerti saya. Hehe.” Apapun pertanyaannya, kali ini saya akan membiarkan Anda berkenalan dengan jenis pendidikan ini. Tapi, kira-kira saya harus memulainya dari mana?...

Oke, sederhanyanya begini, Anda tahu lembaga kursus dan pelatihan? Anda pernah mendengar tentang lembaga pendidikan kesetaraan paket A, B, C?, Anda tahu pendidikan pemberdayaan perempuan?, Anda sering melihat PAUD?, Anda mengenal sekolah alam?, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan vokasional, pendidikan keaksaraan?, dan masih banyak ladang lain yang menjadi garapan pendidikan luar sekolah yang mungkin anda mengetahuinya tanpa menyadari bahwa mereka adalah bagian dari jenis pendidikan luar sekolah. Saya tidak akan membawa Anda pada perkenalan yang terlalu jauh dengan “konsep dasar” pendidikan luar sekolah. Ada banyak karakter dan prinsip dari pendidikan luar sekolah yang kiranya lebih penting untuk saya kemukakan di sini. Prinsip yang memiliki tujuan yang sama dengan pendidikan sekolah (pendidikan formal)—yaitu untuk membelajarkan dan mencerdaskan peserta didik, namun masing-masing di antara mereka membawa sifat yang berbeda.

Pendidikan luar sekolah sebagai penghancur sistem

Ada pendidikan yang didirikan untuk menghancurkan sistem. Mungkin kedengarannya aneh, tapi memang begini default setting-nya (pengaturan dasar/sifat bawaan). Pendidikan luar sekolah saya katakan sebagai penghancur sistem yang dimiliki oleh pendidikan sekolah (pendidikan formal). Sistem yang mana? Tentu saja sistem-sistem pendidikan formal yang cenderung konvensional dan kaku. Anda pernah melihat film Every Child Is Special garapan Aamir Khan? Film tersebut memang tidak bertujuan mengisahkan tentang perbedaan pendidikan formal dan nonformal, tetapi saya mengingat betul beberapa item yang mencirikan pendidikan sekolah yang kaku. Misalnya saja ada peraturan yang tidak memperbolehkan anak memasuki ruang kelas hanya karena lupa menyemir sepatu, atau metode pembelajaran “shocked theraphy” yang digunakan oleh guru yang berujung pada mengkerdilnya nyali anak, atau peraturan-peraturan lain yang membuat semua orang berbaris rapi, bergerak teratur, tapi kaku seperti robot yang sudah diprogram sedemikian rupa. Coba lihat, setiap ruang kelas di setiap jenjang pendidikan formal berisikan peserta didik dengan karakteristik homogen (rata-rata usia, pakaian seragam, dan tingkat kecerdasan berdasarkan classter sekolah). Sekarang coba lihat anak-anak yang belajar di sekolah alam. Pendidik membiarkan pikiran anak-anak bersentuhan secara langsung dengan dunia luar—tanpa merasa terkerangkeng oleh ruangan kelas. Anak akan lebih mudah mengekspresikan dirinya dan upaya ini sangat baik untuk menekan tingkat kejenuhan belajar anak. Dalam pendidikan luar sekolah dikenal konsep belajar sepanjang hayat, yaitu pembelajaran yang tidak mengenal batasan usia. Beberapa waktu lalu, media mengabarkan tentang orang lansia yang mengikuti ujian nasional kesetaraan paket C. Ini salah satu bukti yang mungkin baru ter-blow up saat-saat ini yang membenarkan bahwa pendidikan luar sekolah memiliki prinsip yang fleksibel, tanpa batasan ruang dan waktu, namun tetap memiliki daya keketatan dan kedisiplinan tersendiri. Bukan fleksibel dalam artian bebas tanpa batas—sebebas suku Barbar.

Pendidikan luar sekolah membelajarkan orang-orang “kurang ajar”

Berapa banyak anak-anak yang mengalami putus sekolah? Berapa banyak orang-orang dewasa dan lansia yang berstatuskan buta aksara? Berapa banyak anak jalanan yang menukar waktu sekolah mereka dengan rutinitas jalanan? Pendidikan luar sekolah pada prinsipnya adalah sebagai penambah, pelengkap, dan pengganti pendidikan sekolah. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut, pendidikan luar sekolah memiliki peran sebagai pembelajar orang-orang yang “kurang ajar”. Artinya, pendidikan luar sekolah memiliki tugas dan fungsi sebagai fasilitator untuk membelajarkan orang-orang yang pada dasarnya tidak sempat menuntaskan pembelajarannya di pendididkan formal atau bahkan orang-orang yang sama sekali tidak pernah belajar di bangku sekolah pada jenjang manapun. Istilah “kurang ajar” yang saya maksud bukan bermakna orang-orang yang mengalami mentally disorder ataupun bermasalah secara moral, melainkan orang-orang atau golongan masyarakat yang secara intensitas mengalami pendidikan formal yang sangat kurang. Maka, inilah saatnya pendidikan luar sekolah menjalankan fungsinya sebagai penambah, pelengkap, dan pengganti pendidikan formal. Sebut saja pendidikan anak jalanan yang diperuntukan bagi anak-anak jalanan yang mengalami putus sekolah, pendidikan keaksaraan untuk masyarakat buta aksara, pendidikan kesetaraan (paket A, B, C) sebagai pengganti pendidikan SD, SMP, dan SMA, dan masih banyak lagi program pendidikan lainnya.

Pendidikan luar sekolah sebagai suplemen, komplementer, dan substituter

Sebagaimana telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa pendidikan luar sekolah berfungsi sebagai penambah (suplemen), pelengkap (komplementer), dan penambah (substituter) dari pendidikan sekolah atau pendidikan formal. Ketiga fungsi ini menunjukan adanya sinergitas antara pendidikan formal dan nonformal. Orang mungkin akan berupaya memperoleh suplemen pendidikan—manakala ia membutuhkan keterampilan tambahan yang tidak bisa ia peroleh dari pendidikan sekolah saja. Sama halnya dengan komplementer pendidikan. Sedangkan substituter pendidikan diperoleh ketika seseorang sudah tidak memmungkinkan lagi untuk melakukan pembelajaran di sekolah karena berbagai alasan. Maka, pada akhirnya, ia menempuh pendidikan lain sebagai pengganti.

Begitulah sedikit gambaran umum mengenai prinsip pendidikan luar sekolah. Pada hakikatnya, setiap pendidikan tujuannya adalah baik, apa pun jenis pendidikannya, karena bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan formal dan nonformal memang memiliki hubungan yang sinergis, tidak bisa dipisahkan, bagaimanapun caranya. Sudah sepatutnya kita berterima kasih pada pendidikan formal, karena berkat keketatannya—kita menjadi pembelajar yang disiplin. Namun, jangan sampai keketatan dan kedisiplinan tersebut mencitrakan pendidikan formal sebagai pencetak robot penghafal rumus dan angka. Tetaplah berpedoman pada prinsip “memanusiakan manusia”. Lain halnya dengan pendidikan nonformal, jangan sampai fleksibilitas pembelajaran mencirikan pendidikan yang terlalu longgar dan tidak rapi. Sebagai manusia yang berpendidikan, sudah saatnya kita berupaya mengoptimalkan keduanya, suka tidak suka. Salam pendidikan. Pendidikan untuk peradaban...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun