[/c[caption caption="(sumber gambar : https://drsalim87.wordpress.com/category/uncategorized/page/2/)"]aption]
Dalam media komunikasi seperti TV, banyak tayangan yang ditampilkan seperti film kartun, serial, sinetron, berita, drama komedi dan lain-lain. Tayangan yang ditampilkan mengandung unsur komedi, kekerasan, drama dan horor. Diduga, selain menghibur, yang terutama bikin “kecanduan” ialah unsur ketegangan, suasana tegang saat menunggu adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan membosankan.
Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih “kejam” dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-close up korban.
Dalam tayang yang terdapat di TV kita, unsur kekerasan juga terdapat di dalam film animasi/kartun. Dalam artikel ini, akan dibahas bagaimana sikap orangtua untuk memperhatikan apa yang ditonton oleh anak-anak mereka agar tayangan yang mengandung unsur negatif terkhusus ‘kekerasan’ tidak direalisasikan di kesehariannya“Menurut McLuhan dalam Griffin (2006), media massa adalah perpanjangan alat indera (sense extention theory teori perpanjangan alat indera). Dengan media massa khalayak memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah dilihat atau belum pernah dikunjungi secara langsung”. Dilansir dari teori ini media massa dapat mempermudahkan kita untuk mendapatkan informasi dan hiburan yang ada di seluruh wilayah yang belum sama sekali kita kunjungi. (http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper_5%20des_2011.pdf).
“Anggadewi Moesono (1996) dalam Evita (2007) mengatakan film tidak langsung mempengaruhi perilaku penonton tetapi kalau “bertubi-tubi” disajikan akan berdampak negatif bagi penonton. Berdasarkan ini juga banyak terjadi tindak kekerasan yang terjadi di dunia anak-anak.” Dilansir dari teori di atas jika anak-anak yang selalu berada di depan TV kita selalu di sajikan film yang berunsur ‘kekerasan’ dalam film tersebut maka sang anak akan dengan mudahnya dia mengingatnya dan mempraktekkannya di kehidupan nyata. dikutip dari ( hubungan antara perilaku menonton film kekerasan dengan perilaku agresi remaja Vol. 06)
“Teori belajar social Bandura (1965a, 1965b, 1971, 1977) menguraikan kumpulan ide mengenai cara perilaku dipelajari dan diubah. Penerapan teori ini hampir pada seluruh perilaku, dengan perhatian khusus pada cara perilaku baru diperoleh melalui belajar mengamati (observational learning). Teori ini digunakan dengan mudah untuk perkembangan agresi, perilaku yang ditentukan, ketekunan, belajar loncatan ski, dan reaksi psikologis yang datar pada emosi.” Dalam teori ini kita bisa menyimpulkan bahwa pada saat anak-anak sedang menonton adegan ‘kekerasan’ mereka akan merekamnya dalam pikiran mereka kemudian, jika mereka telah menyimpan adegan itu dalam pikiran, mereka akan mencoba melakukan adegan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Teori ini di kutip dari (http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/M.ARIES/4_TEORI_BELAJAR_SOSIAL_BANDURAx.pdf)
Maka dalam hal ini peran orang tua sangat dibutuhkan untuk berperan memperlihatkan bagaimana cara dan pada saat apa seharusnya kita menggunakan kekerasan. Contohnya untuk melindungi diri sendiri dari ancaman orang jahat. Jadi sebagai orang tua kita tidak hanya menyensor adegan seksual, misalnya ciuman.
Dari adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan, darah, gebuk-gebukan perlu juga disensor. Pengawasan dari orang tua juga itu sangat perlu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Tetapi jangan sampai setiap orang tua mengekang anak sampai anak itu menjadi stress dan mulai muncul
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H