Yah, seperti desa di Jawa pada umumnya. Adalah Lasi seorang blasteran Jepang-Jawa yang dari dulu hidup susah walaupun cantik, sering dirundung waktu kecil, suami yang sakit bahkan diselingkuhi dan juga jadi mainan para pejabat. Kisah hidup Lasi dengan Darsa si penyadap nira, suaminya ini lumayan panjang, dan menurutku terlalu bertele-tele untuk sebuah pendahuluan.Â
Seharusnya cerita dengan Darsa ini bisa lebih pendek, memang ini merupakan cara Ahmad Tohari untuk menjelaskan kemiskinan struktural masyarakat Karangsoga. Padahal berdasarkan sinopsis, seharusnya inti cerita adalah tentang Lasi yang hanya menjadi perhiasan dan pajangan para pejabat dan perjalanan hidupnya di Karangsoga dan Jakarta.
Wewarah: "Dulu Ayah sering bilang, agar bisa hidup tenang, orang harus selalu eling dan nrimo ing pandum, tidak ngumbar kanepson atau mengumbar keinginan."
Kemudian ada Kanjat yang menjadi hero untuk si heroine, Lasi, seorang teman masa kecil Lasi yang lebih muda. Cerita cinta mereka ini lebih kepada memberantas stereotipe, seorang janda tidak berpendidikan dan lebih tua yang menyukai perjaka berpendidikan dan anak Pak Tir yang kaya raya.Â
Sungguh pemikiran Ahmad Tohari yang melampaui zaman. Kanjat disini juga menjadi pemuda desa yang nrimo, banyak galau dan bingungnya dibanding aksi.Â
Tapi salut dengan semangat tinggi Kanjat yang ingin memperbaiki kesejahteraan para penyadap nira di desanya dengan ilmu yang dimiliki. Ini juga menjadi salah satu cerita menarik yang disuguhkan penulis.
Setelah dikhianati oleh Darsa, barulah masuk ke inti cerita yaitu pelarian Lasi ke Jakarta. Si gadis desa lugu nan bodoh ini kaget dengan kerasnya kehidupan Jakarta, karena itu ia senang ketika bertemu dengan Bu Lanting yang mau membantunya bertahan hidup di Jakarta.Â
Tapi ternyata Bu Lanting hanya ingin menjual Lasi ke para pejabat. Bu Lanting ini diperlihatkan sebagai perempuan yang 'pintar cari duit' dan ga mikirin hal lain selain duit.
"...Kamu mungkin juga tidak tahu bahwa sesungguhnya lelaki kurang tertarik, atau malah segan terhadap perempuan yang terlalu cerdas apalagi berpendidikan terlalu tinggi. Bagi lelaki, perempuan kurang pendidikan dan miskin tidak jadi soal asal dia cantik. Apalagi bila  si cantik itu penurut... Sebabnya, kamu cantik dan diharapkan bisa menjadi boneka penghias rumah dan kamar tidur."
Karena lugu dan ga punya pendirian, Lasi ikut saja apa kata Bu Lanting dan bahkan menganggapnya teman. Semua yang baca pasti agak kesal dengan sifat Lasi ini, seakan-akan Lasi ini ga punya apa-apa selain kecantikannya. Apalagi setelah jadi istri Pak Handarbeni yang sebenarnya baik kepada Lasi, tapi ya brengsek juga secara pekerjaan dan menilai perempuan.Â
Aku bisa melihat novel ini secara keseluruhan adalah penggambaran seorang wanita di desa, yang sudah seharusnya setiap stereotipe dan stigma harus diberantas.Â