korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah setiap tahun. Namun, upaya penegakan hukum sering terhambat oleh sulitnya mengembalikan aset hasil korupsi. Dalam konteks ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset muncul sebagai langkah strategis untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Mengapa RUU ini mendesak? Artikel ini akan mengupas urgensinya melalui analisis tradisi retorika: logos, ethos, dan pathos.Â
Indonesia terus berjuang melawanUrgensi RUU Perampasan Aset
Saat ini, pemulihan aset melalui mekanisme hukum berjalan lambat dan tidak efektif. RUU ini bertujuan mempercepat proses penyitaan aset hasil kejahatan dan memberikan kepastian hukum terhadap aset yang disengketakan demi mengembalikan kerugian negara. Tanpa mekanisme perampasan yang kuat, korupsi terus berulang karena pelaku merasa aman menyembunyikan aset di luar negeri atau melalui nominee. Menyinkronkan regulasi nasional dan internasional guna menyelaraskan aturan domestik dengan konvensi internasional, seperti United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Perspektif Tradisi Retorika dalam Mendukung RUU Perampasan AsetÂ
Logos (Rasionalitas dan Argumen Logis)
- Data dan Fakta: Korupsi merugikan negara lebih dari Rp 50 triliun per tahun. Tanpa regulasi perampasan aset, hanya 20-30% aset yang bisa dikembalikan.
- Keuntungan Ekonomis: RUU ini dapat menyelamatkan APBN yang selama ini terkuras untuk menutupi kerugian akibat korupsi.
- Efektivitas Sistem Hukum: Pengadilan sering terkendala pembuktian tindak pidana sebelum bisa menyita aset, yang memperlambat proses hukum.
Ethos (Kredibilitas dan Otoritas)Â
- Dukungan Ahli Hukum: Banyak pakar hukum mendukung RUU ini sebagai langkah maju untuk menutup celah hukum yang ada.
- Kepercayaan Publik: Pemerintah perlu menunjukkan komitmen nyata dalam pemberantasan korupsi untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.
Pathos (Emosi dan Perasaan)Â
- Ketidakadilan Sosial: "Bagaimana perasaan Anda melihat pejabat yang merugikan negara hidup mewah, sementara rakyat kecil berjuang untuk makan?"
- Narasi Korban: Korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga rakyat kecil yang kehilangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Tantangan dan Kritik terhadap RUU Perampasan Aset
- Potensi penyalahgunaan kekuasaan: Kritikus khawatir regulasi ini dapat digunakan untuk menyerang lawan politik. Solusinya adalah memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi.Â
- Sinkronisasi Antar Lembaga: Perlu koordinasi antara lembaga penegak hukum (KPK, Kejaksaan, Polri) untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.
- Penerimaan Publik: Publik perlu diberikan edukasi mengenai manfaat RUU ini agar tidak termakan narasi yang salah.
Harapan: Menempatkan Retorika ke Arah Solusi Nyata
- RUU Perampasan Aset tidak hanya membutuhkan argumen kuat, tetapi juga pelaksanaan yang tegas. Retorika yang digunakan oleh pembuat kebijakan harus menunjukkan bahwa RUU ini benar-benar untuk kepentingan rakyat dan memastikan bahwa koruptor tidak lagi hidup nyaman di atas penderitaan rakyat.Â
- RUU Perampasan Aset adalah langkah strategis untuk memutus siklus korupsi di Indonesia. Namun, keberhasilannya tidak hanya bergantung pada aturan tertulis, tetapi juga komitmen moral dan politik dari semua pemangku kepentingan.
"Apakah kita siap mengawal implementasi RUU ini agar tidak hanya menjadi alat retorika, tetapi benar-benar memberi dampak nyata?"
Gina Rodiatul Janah - Mahasiswa Universitas Pamulang