Pendidikan bukan ditujukan untuk semata-mata kemewahan intelektual, tetapi untuk membentuk kepribadian yang Islami, pola pikir dan jiwa Islami, yang selalu berusaha untuk meraih keridhoan Allah, yang tercermin pada setiap perbuatan dan perkataannya. Abu Yasin
[caption id="attachment_110642" align="alignleft" width="300" caption="Pendidikan di Madrasah. Sumber:http://muslimdaily.net/new/berita/madrasahinpak.jpg"][/caption] Pernah dalam sebuah kesempatan seorang kepala SMK swasta membanggakan fasilitas sekolah yang dimilikinya. Saya teringat pengalaman kepala-kepala sekolah Indonesia yang bertandang ke Jepang dalam rangka menjajagi kemungkinan program sister school untuk dapat menjadi sekolah berstandar internasional. Guru-guru di Jepang keheranan dengan pola pikir Indonesia yang meniru negara lain untuk maju. Sekolah Jepang sangat sederhana; kelasnya masih tidak menggunakan whiteboard, guru-gurunya tidak berlaptop, dan murid SDnya diharuskan berangkat dengan berjalan kaki, tidak ada yang diantar. Mereka berpendapat bahwa sekolah tidak perlu mengadakan sesuatu yang diluar kebutuhan siswa. Standar Sekolah Maju Di dalam konsep Islam pun, rizqi adalah karunia Allah swt yang tidak patut untuk dibangga-banggakan, melainkan untuk disyukuri. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan memanfaatkannya semaksimal mungkin serta melestarikannya. Oleh karena itu pendidikan di dalam Islam tidak boleh terpaku kepada penampilan fisik sebuah sekolah. Sebuah madrasah tidak perlu memaksakan diri mengadakan kemewahan yang tidak dibutuhkan oleh siswa. Misalnya, sekolah yang berlantai tegel tidak harus diganti dengan keramik, selama lantai yang ada mudah dibersihkan dan tidak bermasalah. Contoh yang lain adalah penggunaan kapur tulis yang secara medis lebih aman (karena debunya mudah disaring oleh hidung) untuk pernafasan dibandingkan dengan spidol boardmarker (yang debunya mudah masuk ke paru-paru). Demikian pula tidak harus mengadakan OHP yang notabene fungsinya masih bisa digantikan dengan handout atau papan tulis. Lain halnya dengan fasilitas yang mutlak diperlukan oleh sekolah, misalnya untuk jurusan boga, maka perlengkapan dapur tidak bisa tidak ada, jurusan teknik informatika membutuhkan komputer, jurusan seni musik tentu membutuhkan alat musik yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Bersamaan dengan itu, ada hal penting yang harus dipahami ustadz dan ditanamkan kepada santri-santrinya, yakni sikap wara’ dan rendah hati. Ustadznya tidak boleh minder terhadap kondisi sekolah sehingga tidak berapologi, “sekolah kita kelak akan maju dengan fasilitas yang lebih lengkap dan modern.” Untuk apa menunggu? Setiap ustadz harusnya dengan percaya diri menegaskan, “sekolah kita menjadi maju karena kalian, para santri!” Ketiadaan fasilitas di madrasah tidak boleh membuat civitas akademikanya lemah semangat, dan adanya fasilitas tidak boleh membuatnya pongah dan lengah. Kesia-siaan Intelektual Masih teringat pengalaman yang sama, di Jepang tidak ada RSBI, sekolah yang berstandar internasional. Semua sekolah negeri berstandar nasional. Program sekolah yang dijalankan dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa yang unik, bukan untuk bersaing dengan pasar. Mereka berorientasi ke dalam, bukan keluar. Murni Ramli pernah menulis bahwa tidak ada sekolah Jepang yang mengambil kurikulum dari negara lain, bahkan tidak dari Cambridge sekalipun. Sedangkan di Indonesia, muncul sekolah-sekolah yang konon favorit dengan mengacu kurikulum dari Singapura. Ini dipandangnya sebagai sebuah ketidakpercayaan diri. Di saat sekolah-sekolah Indonesia berlomba menyajikan bahasa Inggris sedini mungkin, sekolah Jepang tidak mengajarkannya hingga tingkat SMP. Makanya secara umum saya berpendapat kemampuan berbahasa Inggris siswa Indonesia lebih mahir dibanding dengan siswa Jepang. Namun apakah ini dipandang sebagai sebuah kekurangan? Saya melihat ini adalah wujud kecintaan bangsa Jepang dalam melestarikan bahasanya sebagai ikon budaya. Jepang tidak perlu kebarat-baratan untuk menjadi maju. Dari contoh inilah sebuah madrasah hendaknya lebih fokus pada pemenuhan tuntutan syar’i daripada tuntutan pasar. Misalnya bahasa Arab hukumnya wajib dipelajari ketimbang bahasa Inggris. Jangan sampai kekhawatiran akan kalahnya sekolah dalam persaingan mendapatkan siswa menumbuhkan penyakit minder di kalangan ustadz, seolah sekolah yang berpengantar bahasa Inggris lebih maju dan yang tidak ketinggalan. Penekanan terhadap akhlak harus mengemuka dibanding pelajaran yang sifatnya teknis seperti sains (IPA), ilmu sosial (IPS), dan keterampilan tertentu (misalnya komputer). Seandainya perlu diadakan ujian semacam UNAS, maka penentu kelulusan siswa seharusnya ada pada pelajaran Dinul Islam, sebab madrasah tidak mungkin melepas santri yang nakal kendati dia pintar. Sebaliknya, tidaklah bermasalah bila madrasah meluluskan siswa yang lemah dalam keahlian berbahasa Inggris atau matematika sekalipun asalkan akhlaknya mulia. Masalah penerimaannya di pendidikan yang lebih tinggi atau dunia kerja itu sepenuhnya pertimbangan masayarakat, bukan sekolah maupun pemerintah. Hal ini ingin saya bahas terpisah dalam topik permasalahan UNAS. Madrasah harus berani menjadikan subyek yang vital dalam pendidikan Islam untuk membekali kepribadian santri, meski bila untuk itu harus menunda kurikulum yang ada. Misalnya dalam pelajaran sejarah, penanaman kisah-kisah keteladanan Nabi saw dan sahabat jelas jauh lebih bermanfaat daripada mengurai dengan detail sejarah kerajaan di Indonesia. Bahkan untuk topik tertentu yang tidak sejalan dengan visi Islam, maka sudah pada tempatnya untuk dihapuskan. Teori Darwin selain tidak bermanfaat untuk kehidupan anak, juga menyuntikkan kerancuan berpikir. Fauzil Adhim pernah membahas mengenai hal serupa dalam kolom yang diasuhnya di majalah Hidayatullah. Beliau mengkhawatirkan pemberian materi yang sifatnya trivia (serba-serbi, seperti nama-nama alat musik daerah, nama raja-raja beserta tanggal kelahirannya, nama ibu kota negara di dunia, dan sebagainya) hanya akan menjadi data smog (sampah informasi) di kepala anak. Informasi semacam ini bukannya negatif, namun tidak akan dibutuhkan dalam waktu dekat, bahkan mungkin tidak dibutuhkan selama-lamanya bila santri tidak mengambil bidang yang bersesuaian dengan informasi tersebut. Bak buku yang memenuhi rak, santri akan kesulitan mengakses informasi yang benar-benar dibutuhkannya diakibatkan terlalu banyaknya. Pembahasan rinci mengenai ini saya harap dapat diselesaikan dalam topik berbeda. Arah Pendidikan Islam Madrasah adalah sebuah pemenuhan perintah Allah untuk menuntut ilmu, sehingga pewujudannya pun harus memperhatikan kaidah-kaidah Islam, serta bertujuan menyiapkan santri agar menjadi hamba Allah yang sholih, yang sesuai dengan tempatnya. Madrasah tidak boleh menjadi tempat yang hanya mengasah intelektualitas namun meninggalkan spiritualitas; anak diajari supaya pintar, namun tidak dibina supaya menjadi pintar dengan cara yang jujur, usaha yang keras, tekun, dan istiqomah. Sebaliknya, madrasah adalah tempat penggemblengan mental, dimana santri dikenalkan dengan semangat berjuang meraih kemenangan namun di saat yang sama memiliki sikap tabah menghadapi kegagalan, santri diajarkan keberanian untuk mengemukakan pendapat dengan kesiapan menerima perbedaan. Hal-hal semacam ini tidak diajarkan terpisah sebagai sebuah mata pelajaran, melainkan integral dalam setiap perilaku ustadznya. Oleh karena itu, selain penting agar para ustadz menyampaikan nilai-nilai ini secara verbal, juga penting untuk memperhatikan bagaimana sikap mereka dalam berbagai situasi dan kondisi. Ustadz yang membolehkan santrinya untuk “bekerja sama” saat ujian pada saat yang sama telah menyusupkan ketakutan terhadap resiko kejujuran. Ustadz yang menilai hanya dari angka, kemungkinan mendorong siswanya hanya mementingkan hasil dan melalaikan cara. Ustadz adalah kunci, yang membuka hikmah bagi santri-santrinya, yang tidak cuma menghukum atas ketidakdisiplinan, namun lebih bijak dari itu, memberikan pengertian atas akibatnya. Seandainya para pendidik menyadari alangkah besarnya dampak positif dari duduk, mendengarkan alasan siswa yang terlambat datang ke sekolah, kemudian memberinya pengertian, dan dukungan untuk lebih berusaha keras esok harinya. Anak akan merasakan empati, bahwa dirinya dimengerti bukan dipojokkan, kesalahannya diperbaiki bukan dibuka di depan umum, masa depannya disiapkan bukan distempel dengan cap yang negatif. Sebagai sosok yang telah bersedia membaca tulisan introspektif ini sampai tuntas, siapapun yakin bahwa andalah ustadz yang bijak itu. Pesan Oya, sebelum anda mengira saya sok tahu dengan segala tulisan ini, saya perlu menulis bahwa guru yang begitu bodoh melakukan banyak kesalahan dalam mendidik siswanya yang sedang kita bicarakan di atas adalah: saya sendiri, dan ini adalah renungan supaya saya tidak lupa. Saya sekedar berharap anda berkenan mengingatkan saya Baca seri lainnya di: http://wp.me/pA03E-nh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H