[caption id="attachment_24640" align="alignleft" width="450" caption="Teman-teman mancanegara mencoba jilbab"][/caption]
Jilbab di Komunitas Non-Muslim
Istri saya adalah satu-satunya wanita berjilbab di kampus saya, di Jepang. Keberadaannya sebagai Muslimah mengundang banyak perhatian, dengan gaun yang panjang dan menutup aurat serta jilbab besarnya, dia terkadang menjadi tolok ukur terhadap cara pandang masyarakat setempat mengenai Muslimah.
Tinggal di apartemen kampus, tetangga kami kebanyakan dari Cina, Korea, Jepang, kemudian beberapa mahasiswa dari negara asia tenggara lainnya. Dalam lingkungan yang kecil itu kami sering meluangkan waktu berkumpul dan bercerita tentang budaya masing-masing. Dari situ saya mengetahui bahwa sebagian besar dari mahasiswa tersebut mengaku tidak percaya kepada Tuhan, atau seandainya beragama sekalipun mereka tidak melakukan ibadah ritual tertentu, alias sekuler.
Tatkala berkumpul bersama istri saya, banyak pertanyaan yang dilontarkan, kenapa kepalanya ditutupi (jilbab)? Apakah tidak gerah? Kalau di dalam rumah apakah juga harus ditutup? Bagaimana dengan anak kecil? Mulai umur berapa harus berjilbab? Begitu seterusnya seolah mereka hendak belajar mengenai Islam. Pada suatu ketika mereka bertanya, “boleh mencoba?” lalu berbondong-bondong mereka mencobanya dan berpose dengan jilbab. Luar biasa menggembirakan responnya!
Di tengah kehangatan sambutan tersebut Saya teringat beberapa tahun silam tatkala mengajar di SMK, seorang siswi yang bersemangat belajar agama pada saya yang notabene bukan guru agama, kemudian mantap memutuskan untuk berjilbab. Ini bukan hal yang mudah, terutama di tengah masyarakat yang masih awam. Begitulah kisahnya yang mulai naik daun seiring dengan perubahan penampilannya.
Setahun kemudian dia lulus dan bekerja. Kami bertemu dalam sebuah perjumpaan yang mengejutkan di sebuah mall terkemuka, dia menjadi pramuniaga, dan tidak ada lagi jilbab di kepalanya. “Mau bagaimana lagi pak, aturannya begitu.” Jawaban memelasnya atas pertanyaan singkat saya “Kenapa?”
Segera saya teringat hadits, “Kefakiran dekat dengan kekafiran.” Di dalam keterbatasan ekonomi seseorang bisa terpaksa melakukan hal-hal yang bertentangan sekalipun dengan keyakinannya. Geram rasanya masih ada orang yang memanfaatkan kelemahan dan keterbatasan orang lain demi kepentingan kapitalistiknya.
Peristiwa ini membawa hikmah, bahwa sikap yang penuh keterbukaan sebagaimana yang kami kecap di negeri asing dapat membuat seseorang mampu untuk menghargai budaya Islam. Sementara sikap kapitalistik dan sekuleristik akan menjuruskan kepada penindasan akan kebebasan menjalankan perintah agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H