Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, menyatakan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya radikalisme dalam agama.
Dalam sebuah seminar bertajuk “Radikalisme Agama dalam Perspektif Global dan Nasional,” di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Kamis lalu, Irfan juga mengatakan bahwa pada dasarnya semua agama mengajarkan para pemeluknya untuk menjadi radikal.
“Radikalisasi itu saya kira sebuah upaya pemberian pemahaman secara komprehensif,” ucapnya.
Jadi menurut Irfan, Radikal di sini, menurutnya, berarti memiliki pemikiran yang sistematis dan obyektif dalam beragama. Irfan juga mengatakan jika Radikalisme merupakan sebuah cara agar pemeluk agama bisa memahami agamanya, misalnya saja mengajarkan anak-anak mengaji dan salat.
Irfan juga menyebut istilah radikal dan terorisme, menurutnya, kedua hal tersebut tidak benar karena menjadikan agama sebagai prioritas atau hegemoni.
“Itu karena menjadikan agama atau ideologi sebagai hegemoni,” ucapnya.
Beberapa waktu lalu, istilah radikalisme sempat menjadi bahan perbincangan setelah beberapa website berbau Islam diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika atas rekomendasi drai BNPT. Pemblokiran dilakukan dengan alasan website menyebarkan faham radikal.
Saya sengaja kutipkan penuh berita dari website sharia.co.id supaya pembaca bisa memahami maksud judul di atas.
Setelah sekian lama masyarakat luas dipengaruhi oleh media massa dengan standar yang bias. Di satu sisi media banyak melabeli aktivitas kekerasan yang dilakukan sekelompok umat beragama dengan tindakan radikalisme (bukan paham) namun di sisi lain aktivitas kekerasan yang dilakukan oleh partai atau aparat kepolisian (khususnya Densus 88) tidak dikaitkan dengan label yang sama. Pelabelan yang terus-menerus ini mengendap di citra masyarakat, sehingga banyak yang mewacanakan pencegahan radikalisasi agama, menyimpang dari makna "radikal".