Mohon tunggu...
Gilar Hadimulya
Gilar Hadimulya Mohon Tunggu... -

25 yo, entry level writer..

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Di Balik Jendela Damri (Penjual Sayur)

3 September 2016   20:09 Diperbarui: 3 September 2016   20:23 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama kuliah, sarana transportasi utama yang setia mengantarkan saya adalah bus damri, setiap pagi pukul06.00 WIB, saya sudah ready di pinggir jalan untuk numpang bus damri jurusan dipatiukur-jatinangor ke kampus. Perjalanan dari bandung ke jatinangor menggunakan bus damri ini kurang lebih 1 jam. Selain kenangan desak-desakan di dalem bus damri, banyak cerita-cerita lain yang saya dapati justru dari memandang ke luar jendela bus damri tersebut.

Rute bus damri ini memang hampir tidak pernah berubah (kecuali ada pengalihan jalan atau case-case mayor lainnya), tetapi jalanan selalu bisa menyuguhkan tontonan menarik yang berbeda-beda, tontonan bisu yang membuat saya dapat mendalami diri selama perjalanan 1 jam di dalam bus damri.

Penjual Sayur

Salah satu tempat yang dilewati bus damri jurusan dipatiukur – jatinangor ini adalah pasar Moh. Toha di kota Bandung, lokasi pasar pagi ini pas di perempatan lampu merah, da sering kali bus damri yang saya tumpangi berhenti karena lampu merah di sana (fyi, lampu merahnya lama, ada kali 2 menit lebih). Di pasar pagi tersebut, pas di pinggir jalan (bahkan memakan ruas jalan) ada penjual sayur mayur (pastilah ya, namanya juga pasar), terus kenapa? Wajar dong ada penjual sayur di pasar mah? Anehnya apa?

Sabar duluuu , yang menarik adalah, di antara lapak-lapak penjual sayur tersebut, ada 1 lapak yang selalu rame setiap kali bus damri saya kebetulan berhenti di situ. Lama-lama saya jadi penasaran lalu menerka-nerka KENAPA LAPAK ITU RAME?

1 hal yang sangat mencolok di lapak sayur tersebut adalah SI PENJUAL, ya si penjual sayur di lapak tersebut, itu adalah pembedanya, tangannya cepet banget. Proses nimbang sayur, ngbungkus sayur, ngambil uang, buka kotak uang dan ngasih uang kembali itu cepet banget, jadi tangan si penjualnya itu kalo dilihat dari posisi saya di bus damri mirip-mirip orang yang lagi pencak silat gitu.

Tontonan tersebut saya lihat hampir 5 kali seminggu selama masih kuliah. Hal itu bikin saya berpikir, Si penjual sayur mungkin bisa aja jualan dengan gaya yang normal, tapi gaya dia yang mirip pencak silat saat transaksi jual beli justru bikin lapak dia rame (karena mungkin konsumen dilayani lebih cepat jadi salah satu poin lebih lapaknya juga).

Bagi saya, tontonan tersebut ngasih contoh nyata , bahwa kerja keras itu tidak akan ada yang sia-sia, ga perlu contoh anak singkong , laskar pelangi atau contoh-contoh lain yang sangat dramatis untuk menyadarinya, cukup dari lapak penjual sayur aja kita bisa lihat if we work harder, we earn bigger.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun