Mohon tunggu...
Gilbert Su
Gilbert Su Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama saya Gilbertus, saya mahasiswa Institut Pariwisata Trisakti, hobi saya bermain musik, futsal

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Muti'ti (Pembuatan Tato Mentawai)

30 Januari 2025   19:49 Diperbarui: 30 Januari 2025   19:49 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muti'ti' adalah tradisi tato yang sangat penting bagi masyarakat Mentawai, terutama dalam komunitas di pulau Siberut. Tato ini, yang dikenal sebagai ti'ti', bukan hanya sekadar seni tubuh, tetapi memiliki makna mendalam dalam hal identitas, prestise, dan simbol budaya. Muti'ti' dilakukan melalui serangkaian upacara adat yang melibatkan keahlian khusus, serta pengorbanan dan ritual yang mendalam. Sebagian besar tato ini diterima sebagai simbol identitas diri dan komunitas, menandakan asal-usul seseorang atau uma (kampung), dan mencerminkan status sosial, seperti kemampuan berburu atau kemapanan ekonomi.

Motif-motif ti'ti' bervariasi, dengan perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan, serta antara individu dengan keahlian khusus, seperti sikerei (pemimpin adat). Sebagian motif menggambarkan binatang buruan, sementara yang lainnya bisa memiliki makna lebih personal atau historis. Tato ini dibuat dengan menggunakan alat-alat sederhana, seperti tangkai jarum dari kayu pohon tobek, dan pewarna yang berasal dari bahan alami, seperti campuran tebu dan jelaga. Proses pembuatan ti'ti' memerlukan waktu yang lama, seringkali bertahun-tahun, karena setiap bagian tubuh yang ditato harus sembuh terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke bagian berikutnya.

Pembuatan tato ini melibatkan ritual-ritual sakral, dimulai dengan panaki, yaitu doa dan permohonan untuk keselamatan dan kelancaran upacara. Sepanjang proses muti'ti', ada sejumlah pantangan yang harus dihindari untuk menjaga keberhasilan upacara. Pelanggaran terhadap pantangan ini dipercaya dapat membawa malapetaka atau kegagalan dalam upacara.

Seiring waktu, praktik muti'ti' semakin jarang dilakukan, dan kini hanya dapat ditemukan di beberapa daerah di Siberut. Tradisi ini semakin terancam punah karena berkurangnya jumlah orang yang memiliki keahlian dalam membuat ti'ti' (sipasiti'ti') dan juga karena perubahan zaman yang mengurangi pemahaman dan minat terhadap adat ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun