Mohon tunggu...
Lentera Abrit
Lentera Abrit Mohon Tunggu... -

Jika Tuhan merestuiku, aku ingin terus dan terus menuangkan warna-warni hariku dalam goresan hasil tarian jari-jemariku sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kecapung Merah di Telaga Sarangan

26 Februari 2014   07:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



Adzan subuh sudah mulai menggema, itu pertanda aku harus bangun untuk sembahyang dan berdoa sejenak di hadapan Yang Maha Kuasa semoga hari ini semua yang kurencanakan bisa berjalan dengan lancar. Seperti biasanya, setelah sholat subuh aku olahraga dan bersih-bersih rumah sampai mentari di ufuk timur sudah mulai menampakkan dirinya.

Hari ini aku berencana untuk bertemu dengan seseorang yang sangat aku cintai dan tak pernah ada yang bisa menggantikannya. Tak lain ia adalah isteriku tercinta yang baru saja meninggal tujuh hari yang lalu.

Semuanya sudah ku persiapkan, mulai dari motor honda keluaran terbaru yang aku beli dua tahun yang lalu bersama istri tercintaku, helm, dan jas hujan untuk ku pakai kalau sewaktu-waktu hujan mulai mengguyur. Aku selalu membawa jas hujankalau aku ingin bepergian ke daerah Magetan, karena disana dingin dan sering turun hujan. Perjalanan ini akan sangat indah dan aku akan memulainya. Dari kecamatan Lembeyan, rumahku menuju Telaga sarangan.

Tak terasa motorku sudah mulai melaju lima belas menit. Pemandangan di sekitar jalan rumah menuju Telaga Sarangan memang sangat indah terutama di pagi hari. Padi-padi di sawah yang berwarna hijau membentang dan hampir menguning sampai pemandangan sekelompok capung berwarna merah yang hinggap di padi. Melihat capung itu aku ingin berhenti sejenak untuk mengamatinya. Warna capung itu persis seperti capung yang muncul di imajinasiku akhir-akhir ini. Ya, mirip sekali, warnanya merah dan cantik. Namun, tak habis pikir kenapa capung merah itu selalu muncul di imajinasiku sebelum aku tidur terlelap? Setelah kuperhatikan dengan seksama, tiba-tiba capung merah yang cantik itu lari karena ada dua capung yang mengejarnya dari belakang. Mungkin dua capung itu adalah capung laki-laki yang menyukai kecantikannya.

Hah... aku mulai berfikir aneh tentang capung cantik itu, mungkinkah ia direbutkan oleh dua capung laki-laki tadi? Itu semua tak penting bagiku dan aku harus melanjutkan perjalanan.

Melihat capung tadi aku mulai teringat dengan almarhum istriku. Ia sangat menyukai capung yang berwarna merah. Jika dahulu ia pergi ke Telaga Sarangan denganku, ia selalu mengajak duduk di pinggir telaga untuk menangkap capung. Menurut mitos orang jawa, kalau kita suka menangkap capung maka badan kita yang gemuk bisa menjadi langsing seperti badan capung. Mungkin hal itu dilakukan istriku karena memang badan istriku agak gemuk atau istilahnya padat berisi. Namun aku tetap mencintainya.

Ku lajukan motorku dengan kecepatan 60 km/jam. Tak terasa sepuluh menit lagi aku akan sampai di Telaga Sarangan, tempat yang sering aku kunjungi dengan istriku saat kita masih pacaran dulu. Walau banyak mitos kalau ada sepasang muda-mudi yang pergi ke sana maka cintanya akan kandas di tengah jalan sebelum mereka di ikatkan oleh tali pernikahan. Aku tidak percaya dengan mitos aneh itu, dan buktinya aku dan istriku bisa menjalani pernikahan selama setahun walaupun akhirnya ia memenuhi panggilan-Nya lebih dahulu dari aku. Sekarang aku mencoba untuk mengikhlaskannya.

Tempat itu menyisakan rasa trauma yang sangat hebat dalam hatiku, karena di tempat itulah istriku menghembuskan nafas terakhirnya. Ia terpeleset saat mendaki jalan setapak menuju air terjun yang letaknya tidak jauh dari telaga. Aku tak bisa membayangkan betapa banyak darah yang tercecer karena ia sedang hamil dua bulan. Rasanya aku seperti kehilangan dua manusia yang aku cintai.Andai saja dahulu aku ikut pergi dengannya saat acara reuni dengan teman-temannya itu, mungkin istriku masih disampingku sampai saat ini.

Mungkin jika orang lain mengetahui niatku pergi ke Telaga Saranagn untuk menemui istriku yang telah meninggal, aku pasti akan ditertawakan. Tujuh hari berturut-turut, capung merah itu selalu mengganggu imajinasiku saat aku ingin tidur dan tak jarang sampai terbawa ke dalam mimpi. Capung itu seperti menyuruh aku pergi ke Telaga Sarangan untuk bertemu istriku. Mungkinkah istriku benar-benar ada disana, aku sangat ingin bertemu dengannya walaupun hanya sekejap saja. Dahulu waktu kami masih pacaran, istriku sangat suka duduk di pinggir telaga untuk melihat capung merah yang beterbangan diantara perahu model angsa yang berjalan di atas air. Dia selalu berkata kalau capung itu adalah hewan yang jujur dan tidak pernah berbohong.

“ Kamu tahu mas ton, kalau capung merah itu hewan yang jujur dan dia kelak akan mengungkap semua rahasia yang selama ini kupendam,” kata istriku saat itu. Aku menjadi kaget dan terperanjat, kutatap matanya dalam-dalam.

“Rahasia apa Ayu? Apa tidak lebih baik kau utarakan sekarang?” tanyaku dengan lembut walaupun sebenarnya aku agak sedikit marah.

“Nanti mas pasti akan mengetahuinya, capung merah yang sangat indah itu akan mengundang mas ke tempat ini ”. Jawab istriku dengan tenang.

Aku mencoba untuk tenang menghadapinya, ku redam rasa marahku, karena aku tahu dia akan selalu memberikan yang terbaik untukku. Ia adalah satu-satunya gadis baik hati yang aku kenal.

Setelah kematiannya tujuh hari yang lalu, barulah aku mengerti bahwa capung merah yang sering aku lihat adalah hewan lucu suruhan istriku untuk mengatakan suatu rahasia kepadaku. Dalam tidurku tadi malam, aku bermimpi ada seekor capung merah yang sangat cantik datang ke rumah dan seakan memintaku untuk menemui istriku di Telaga Sarangan. Tepatnya di pinggir telaga tempat dimana kami sering duduk bersama. Itu alasanku melakukan perjalanan yang aneh ini.

Hemm, aku sangat mencintai tempat ini, pemandangan di sini dan udara sejuk pegunungan yang masih sejuk nan alami. Akhirnya aku sudah sampai, ku parkir motorku dan kulanjutkan dengan membeli tiket masuk.

Rasanya aku ingin menangis melihat tempat ini, tapi aku malu. Sebagai seorang laki-laki tidak pantas menangis di tempat umum seperti ini. Aku mencari tempat duduk yang paling aku sukai, dibawah pohon rindang di pinggir telaga. Tempat duduk ini adalah tempat vavorit yang sering dipilih istriku karena dekat dengan penjual sate kelinci. Rasanya tidak lengkap kalau kami ke Telaga Sarangan tidak membeli sate kelinci itu.

Saat aku tiba, rupanya sudah ada laki-laki yang duduk di tempat itu. Ia sepertinya juga sedang menunggu seseorang. Aku tersenyum tipis padanya dan iapun membalasnya. Mungkin laki-laki itu umurnya sebaya dengan aku. Ia bertubuh tinggi dan putih serta menggunakan jam tangan mirip seperti jam yang kukenakan. Jam ini hadiah dari istri tercintaku saat hari ulang tahun. Dalam hati aku bertanya, mengapa jam itu bisa sama persis dengan milikku?.... Padahal saat istriku memberikan jam ini, ia sempat berkata bahwa jam yang kupakai ini hanya akan dia berikan pada laki-laki idaman hatinya dan itu adalah diriku.

“Maaf, apa mas juga punya janji dengan seseorang di tempat ini?” kataku dengan sopan kepada orang itu sambil memandangi capung merah yang beterbangan di atas perahu angsa yang berjalan memutari telaga.

“Iya mas, aku sedang punya janji di tempat ini dengan pacar saya”. Jawab laki-laki itu dengan nada sopan.

“Tapi, anu... maaf aku juga punya janji disini, aku tidak mengganggu kan kalau aku duduk disini?” Tanyaku dengan nada yang ringan.

“ Oww... tidak mas, tempat ini kan tempat umum, jadi siapa saja boleh duduk di sini. Apakah mas sedang punya janji dengan kekasih hati?” Mata laki-laki itu menatapku sejenak.

“Emm,,, iya, aku menunggu istriku, bagaimana kamu bisa tahu?”

“Ya, aku hanya menebak saja.” Jawab laki-laki itu dengan wajah yang sedikit muram seperti punya beban dalam dirinya.

Kami saling berdiam diri menikmati keindahan Telaga Sarangan dan sekelompok capung merah yang beterbangan bebas di udara. Rasanya air ditelaga yang bening ini mau tumpah. Ada sekelompok capung merah yang cantik terbang di depanku dan sepertinya salah satu capung yang terbang dengan capung kecil yang imut, mungkin capung kecil itu anaknya.

Laki-laki itu menatapku dengan tatapan penuh persahabatan, seakan-akan ia telah lama mengenalku. Aku malu untuk bercerita bahwa aku sedang menunggu istriku yang sudah meninggal, mungkin dia akan menertawakanku.

Tiba-tiba ada seekor capung merah yang cantik hinggap di jam tanganku kemudian terbang lagi dan hinggap lagi. Sedikitpun ia tidak takut kalau ku tangkap atau ku usir. “Kenapa ia hinggap ditanganku?” kataku kepada laki-laki itu.

“Mungkin capung itu ingin mengatakan sesuatu kepadamu, lihat matanya berbinar-binar indah menatapmu?” Jawab lelaki itu dengan sedikit tawa. Akupun bertanya dalam hati, memangnya dia bisa bicara dengan capung ini.

“Ya, mungkin saja mas, tapi sepertinya capung merah ini sangat menyayangi dan mencintai mas.” Jawab lelaki itu.

“Sepertinya begitu, dia amat cantik dan ia juga sering mendatangiku dalam setiap mimpi-mimpiku.” Jawab lelaki itu. Aku menjadi kaget dan berpikiran yang aneh-aneh pada orang ini.

“Mengapa mimpi kita bisa sama, kalau boleh tahu nama Anda siapa?” Tanyaku padanya.

“Iya mungkin kebetulan saja mimpi kita sama, namaku Ardi”. Jawabnya

“Aku Toni, Oh ya orang yang adik tunggu kok belum datang?”

“Yang aku tunggu sudah datang, ia adalah capung itu, pada mimpiku ia menyuruhku untuk datang kesini menemui mas Toni. Jawabnya dengan nada serius.

“Apa benar yang kau katakan, dari mana kau bisa mengenalku lebih dulu?”

“Capung merah itu adalah suruhan istri mas yang sudah meninggal tujuh hari yang lalu dan ia adalah pacar saya, mas jangan marah dulu, karena walau bagaimanapun istri mas sangat mencintai mas Toni. Walaupun saya tahu kalau Ayu sudah menikah dengan mas, aku tetap mencintainya dan anak yang dikandung Ayu adalah anakku karena mas mempunyai penyakit yang tidak bisa menurunkan keturunan.” Jelas laki-laki itu dengan nada bijaksana.

Aku seperti tertimpa batu luar angkasa yang sangat besar. Rasanya aku ingin menangis, aku malu, aku ingin marah danaku ingin membunuh laki-laki itu, tetapi aku tidak bisa.

Setelah capung merah itu puas hinggap di jam tanganku kemudian ia berpindah hinggap di jam tangan laki-laki yang bernama Ardi itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun