Seperti itulah yang pernah dikatakan seorang biksu gundul berjanggut panjang dengan baju dekil yang ku kira hampir ribuan tahun tak pernah ia ganti. setiap kata setiap bait dari nyanyian luka yang ia ucapkan mengandung jutaan spirit baru bagi mereka yang basah karena muncratan air ludah dari mulutnya. ia terluka jutaan ribu tahun yang lalu, seorang gadis lungguh dengan tingkatan kesalehan yang luar biasa untuk ukuran dunia yang penuh dengan murka. wanita yang sangat ia kagumi bahkan melebihi kepada Tuhan-nya sendiri.
Apa yang bisa aku perbuat saat kedua orang tuanya memperkosa cinta dari wanitaku? tanya sang biksu yang juga ahli bermain remi. aku terhalang oleh dinding murka yang terlalu tinggi bahkan melebihi cintaku. mereka merampasnya, mereka terlalu berburu-buru untuk usia kami yang masih sangat remaja meski kedewasaan kami tak pernah ada yang meragunnya.
setelah semua benteng tak bisa lagi aku robohkan, dalam hitungan detik seiring tetesan air mata yang mengalir dari wajahnya ia menyetujui keinginan orang tuanya untuk berhenti mencintai biksu yang tak cuma jago main remi tapi juga jago main PS. ia menyetujui lelaki lain yang ku anggap monoton bahkan garing seperti ladang yang hampir setengah abad tak mengenal hujan.
Malang nasibmu, itulah kata yang ku pikir tepat untuk menggarami lukanya, setelah jutaan tahun berlalu kini sang wanita yang ia ceritakan yang cintanya diperkosa oleh orang tuanya sendiri telah menjadi seorang ibu yang jauh lebih cantik dibanding saat mencinta seorang biksu dekil. ya mungkin ia benar, awalnya adalah pemerkosaan, sisanya suka sama suka. abi dan ummi panggilan manja mereka kini.
Jangan terlalu dipikirkan biksu, aku menulisnya tanpa tau kaidah bahasa dan tatakramanya. bahkan aku nyaris tak berpikir saat menulisnya. lain kali kau perkosa dulu agar kemudian menjadi suka sama suka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H