Mohon tunggu...
Gilang Sotya Nugraha
Gilang Sotya Nugraha Mohon Tunggu... Dokter - Interested in medical study, philosophy, and political science

Currently studying at undergraduate program faculty of medicine brawijaya university. Part Of Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menelisik Kembali Makna dan Arah Juang Marhaenisme

28 Februari 2021   15:45 Diperbarui: 28 Februari 2021   16:11 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

          Di era sekarang ini, mungkin hanya sedikit dari kita yang memahami makna dari kata marhaen, marhaenis, dan marhaenisme itu sendiri. Kita dapat menghitung beberapa dari orang orang kita yang memahami makna dari kata kata tersebut, yang mana di antaranya mungkin hanya kader dari organisasi mahasiswa GMNI saja, karena bahkan acapkali kader dari suatu partai yang seharusnya menjunjung tinggi nilai marhaenisme sebagai marwah keorganisasiannya malah tidak memahami makna marhaenisme itu sendiri.

         Terminologi dari marhaenisme sendiri berawal ketika Bung Karno yang saat itu masih menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung) sedang berjalan-jalan menyusuri pematang sawah antara tahun 1926-1927-an. Pada waktu itu, ia menemui seorang petani yang sedang menggarap sawah, yang kemudian diketahui namanya sebagai Aen ataupun Mang Aen (dan kemudian disebut sebagai marhaen). Pada saat itu Soekarno muda bertanya kepada petani tersebut perihal kepemilikan sawah, cangkul, bajak, dan alat produksi pertanian di sekitar situ. Mang Aen pun menjelaskan bahwa sawah dan alat produksi pertanian yang meliputinya adalah miliknya sendiri dan dia bukanlah merupakan buruh tani. Soekarno muda yang saat itu terpengaruh banyak oleh buku-buku karya Marx pun tentu saja langsung berasumsi bahwa petani tersebut adalah orang kaya raya, hal ini dikarenakan Marx yang di dalam selebaran Communist Manifesto pada saat itu beranggapan bahwa tertindasnya kelas pekerja merupakan buah dari para pekerja dan proletariat yang tidak memiliki alat produksi sehingga rawan untuk ditindas oleh para borjuasi dan pemilik modal.

         Namun, ternyata hal tersebut berkebalikan dengan kondisi petani tersebut. Meskipun di dalam praktiknya ia memiliki alat produksi dan sarana pertanian yang adekuat. Ternyata , hal tersebut bukan berarti petani tersebut menjadi makmur sebagaimana teori Marx tentang kepemilikan alat produksi. Malahan, kenyataan di lapangan tersebut merupakan antithesis dari pernyataan Marx. Di dalam buku Penyambung Lidah Rakyat sendiri bung karno menyatakan dengan jelas bahwa kaum seperti Mang Aen tadi tidaklah merupakan satu bagian dengan stereotype yang selama ini telah dikenal di publik terkait dengan kelas pekerja dan proletar. Mereka memiliki ciri dan karakteristik yang lebih khusus, di antaranya yaitu memiliki alat produksi sendiri (Kail, Jala, Sawah, dll) namun di dalam praktiknya bukan termasuk orang yang sejahtera.

         Maka dari itu, Bung Karno merumuskan konsepsi marhaenisme sebagai pengganti dari teori marxisme yang secara nyata tidak bisa diterapkan di Indonesia karena adanya perbedaan kultur dan budaya masyarakat. Jika kita merujuk kepada cara berpikir Bung Karno tadi, kita bisa mengetahui bahwa bung Karno menerapkan metode berpikir materialism-dialektika-historis sebagai pisau analisis permasalahan yang ditemui di lapangan.

        Metode ini menggabungkan konsep materialisme dari Feuerbach, Dialektika dari Hegel dan konsep berpikir materialism-historis ala kaum marxis. Bung Karno menentukan tesis berupa teori kepemilikan alat produksi, lalu sebagai antithesis bung Karno memahami bahwa kenyataan teori tersebut berbeda dari apa-apa saja yang telah ia temui di lapangan. Dialektika tersebut pada akhirnya menelurkan marhaenisme sebagai sintesis. Yaitu diperlukan adanya konsep ideologi yang berbeda dari yang sudah ada. Konsep ideology yang sesuai dengan kultur, budaya, dan keadaan masyarakat Indonesia. Maka dari itu, Bung Karno acapkali menyebut bahwasanya marhaenisme ini sendiri adalah sosialisme nya Indonesia. Adalah suatu ideology yang menentang penindasan manusia atas manusia lain, penindasan suatu bangsa atas bangsa lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun