Mohon tunggu...
Gilang Satria Perdana
Gilang Satria Perdana Mohon Tunggu... Penulis - Bapak Rumah Tangga

Bila kita bisa mengumpulkan uang untuk membunuh orang, maka kita juga bisa mengumpulkan uang untuk menyelamatkan orang. (Tony Benn)

Selanjutnya

Tutup

Money

Bebersih: Sebuah Hybrid

14 Agustus 2013   18:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:18 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_272337" align="alignleft" width="300" caption="Logo Bebersih yang saya buat untuk kepentingan marketing"][/caption]

Masih dikenal sebagai negara berkembang, perekonomian Indonesia 63% masih ditopang oleh sektor informal (Redaksi Bisnis.com, 2012). Masyarakat yang kurang mengenyam pendidikan pada akhirnya kekurangan skill dan lebih memilih menghidupi diri dengan berdagang kecil-kecilan tanpa adanya ijin usaha tertentu, juga tanpa terhutang pajak. Meski dianggap potensial dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi pada kenyataannya pemeran sektor informal banyak kesulitan mengembangkan perdagangannya, karena faktor kurangnya pendidikan itu tadi.

Seperti empat orang wanita paruh baya yang saya temui beberapa hari lalu di bilangan Cipayung, Depok. Mereka adalah kawan-kawan Ibu Maryam, wanita yang saya ajak bekerja sama dalam membangun bisnis penyedia jasa cleaning service dengan merk Bebersih. Kami mempekerjakan Ibu Maryam, yang biasa saya sapa Bu Iyem itu sejak akhir November 2012 lalu, dan Bu Iyem telah membantu Bebersih memperoleh nama baiknya sedikit-sedikit dengan memberikan kualitas kerja yang memuaskan. Kami menjelaskan banyak hal mengenai rencana pengembangan Bebersih dan bahwa Bebersih akan butuh banyak karyawan lain, meski tidak sekaligus. Maka Bu Iyem memperkenalkan saya dengan teman-temannya yang butuh pekerjaan.

Secara pribadi saya cukup malu mengakui bahwa saya meremehkan mereka pada awalnya. Mereka bukanlah orang-orang yang malas atau manja yang tidak bisa bekerja. Keadaan sebagai ibu rumah tangga dan belum adanya pendidikan yang mereka kenyam secara memadai membuat mereka hanya bergantung dari pendapatan suami yang kebanyakan juga berkecimpung di sektor informal, atau menjadi buruh formal di sebuah perusahaan tertentu dengan gaji standar UMR. Ketika inflasi semakin mencekik ibu kota, barulah mereka terlecut untuk mencari tambahan penghasilan.

Bagi starter up yang dimodali dengan jumlah terbatas dari even lomba kewirausahaan, dan sempat mengalami pecah kongsi dengan partner bisnis, merancang sebuah bisnis sosial sebrilian apa yang dirancang Muhammad Yunus adalah tantangan tersendiri. Penyedia jasa cleaning service bukanlah core business baru di dunia, apalagi di Indonesia. Sudah banyak pemainnya. Yang terbaik, sebut saja perusahaan multinasional yang terbentuk di tahun 1901, ISS Company. Ketika kami dihadapkan pada kompetitor kapitalis seperti mereka, kami sadar, kami harus bermain dengan cara berbeda. Tapi apa? Segera saya teringat Muhammad Yunus dan ide pemberdayaan masyarakat melalui bisnis. Kelak ini populer dengan sebutan socio entrepreneurship. Dimana kita rancang sedemikian rupa bisnis kita agar profit yang didapat bisa tak hanya menghidupi stakeholder tetapi juga memberikan nilai tambah pada pengembangan kualitas masyarakat sekitar. Muhammad Yunus dalam (Nicholls, 2006) berujar bahwa anak-anak muda haru mempelajari bahwa mereka—atau kita ini—punya pilihan-pilihan untuk menjadi entrepreneur seperti apa. Apakah itu pengusaha dengan bisnis yang hanya bertujuan membuat profit, atau bisnis yang bertujuan berbuat baik kepada orang lain. Kata Muhammad Yunus lagi, bila kita memperluas interpretasi kita terhadap konsep kapitalisme, maka kita akan cenderung menggabungkan kedua konsep itu: bisnis yang tak hanya berorientasi profit, tetapi juga mentargetkan dapat mengatasi masalah-masalah sosial di masyarakat.

Dalam buku lainnya, Muhammad Yunus memaparkan kegagalan konsep yang ada pada kapitalisme yang hanya memandang manusia sebagai makhluk satu dimensi: si pengejar keuntungan (Yunus, 2007). Karena teori tersebut yang pada akhirnya terimitasi dalam realita, alih-alih teori yang mengimitasi realita, kebudayaan global yang mempercayai keberhasilan pasar bebas berbondong-bondong menjadikan profit maximalization sebagai tolok ukur keberhasilan seseorang. Seseorang akan dikatakan berhasil bila dia yang paling untung, dia yang paling menghasilkan banyak profit. Namun, kenyataannya, manusia bukanlah makhluk satu dimensi atau one-dimensional being. Manusia adalah makhluk multi-dimensional yang memiliki emosi, kepercayaan, prioritas, dan pola perilaku yang pada akhirnya membentuk bermacam-macam sifat manusia. Bahkan aktor kapitalisme paling sukses di dunia pun banyak yang tak lagi memprioritaskan usaha pencapaian profit yang maksimal dan memilih tujuan-tujuan yang lebih tinggi dan bersifat humanis. Karena sifat multi-dimensional itulah maka bukan berarti setiap bisnis yang kita rancang han ya bisa memiliki satu tujuan untuk memperoleh keuntungan, dan di sinilah konsep kewirausahaan dan bisnis sosial diperkenalkan.

Analisis dan teori yang dipaparkan Muhammad Yunus tidaklah serta merta. Beliau harus membuktikan bahwa memang benar konsep kewirausahaan sosial ini bisa berhasil melalui Grameen Bank di Bangladesh. Banyak dari kita yang sudah tahu kan, mengenai bank pemberi mikro-kredit ini. Mereka memberikan pinjaman lunak pada rakyat miskin—bahkan yang paling miskin pun—di Bangladesh untuk membuat usaha kecil-kecilan agar mereka bisa mandiri secara ekonomi. Hal ini merupakan aplikasi dari pepatah Cina: jangan beri ikan, tapi berilah jala untuk mencari ikan. Muhammad Yunus mengutarakan bahwa Grameen Bank sebisa mungkin membuat para mikro-kreditur itu merasa penting dengan memberikan sepenuhnya diskresi tentang usaha apa yang sebaiknya mereka bangun.

Bahwa dengan adanya konsep bisnis sosial ini saya mengadopsi prinsip-prinsipnya untuk direalisasikan dalam Bebersih. Untuk menjadikannya selaras dengan konsep ini adalah pengaturan kebijakan aktual dan kebijakan akan datang dalam Bebersih. Kebijakan aktual yang sudah saya terapkan adalah manajemen yang fleksibel dan berpihak pada karyawan. Ketika saya pada akhirnya gagal mendapatkan klien untuk membeli jasa kami, maka saya tidak bisa melarang Bu Iyem dan kawan-kawannya untuk mencari kerja di tempat lain bila kebutuhan akan tambahan uang sudah sangat mendesak. Mereka memiliki keluarga untuk dihidupi, bukan? Kebijakan aktual lainnya adalah menerapkan transparansi pembagian hasil, fasilitas kerja, dan resiko kerja serta solusi yang bisa kami tawarkan tanpa harus menambah-nambahi. Ketika kita berniat untuk berkontribusi terhadap komunitas tertentu, seperti yang Muhammad Yunus lakukan dengan Grameen Bank beliau, kita tidak sebaiknya menjadikan komunitas tersebut sebagai objek semata, karena mereka pun memiliki kemampuan untuk membuat diskresi (Nicholls, 2006). Pilihan-pilihan mereka sebagai manusia multi-dimensional harus kita hargai dan telaah seksama. Meski begitu, tetap saja, kita harus menerapkan ketegasan dan kewajiban menjunjung tinggi komitmen. Tak pernah lupa saya mengingatkan kepada Bu Iyem bahwa bila beliau masih ingin bekerja bersama saya, maka kapanpun klien baru didapat, maka beliau harus melepas pekerjaan sementaranya ini atau setidaknya mengatur waktu agar tidak menganggu jadwal kerja Bebersih. Sementara, kebijakan akan datang yang benar-benar harus direalisasikan adalah pembuatan balai latihan kerja terpadu yang tak hanya memberi tambahan kemampuan teknis, tetapi memberikan kemauan dan motivasi agar bisa mandiri seperti yang dilakukan mikro-kreditor di Bangladesh: membuat usaha sendiri, meski masih kecil-kecilan atau bersifat informal. Orang-orang yang bekerja penuh pada Bebersih tidak boleh lebih dari 8 tahun, setelahnya ia harus bisa membuat bisnis baru.

Itu adalah rencana jangka panjang yang harus tetap dipertahankan sementara sebelum banyak pencapaian-pencapaian lainnya terpenuhi. Yang menjadi masalah adalah, terkadang timbul ketidakpercayaan pada diri sendiri bahwa kami nantinya bisa mencapai goal tertinggi. Apalagi secara pribadi, Muhammad Yunus meragukan model hybrid yang bertujuan ganda, baik menyasar keuntungan maksimal juga imbas postif sosial di masyarakat. Meski Muhammad Yunus memberikan pilihan bahwa kita bisa mengkombinasikan dua-duanya, pada akhirnya ia menyarankan untuk lebih baik fokus pada salah satunya saja.

Namun apalah keindahan dari sebuah bunga bila ia layu sebelum berkembang. Meski pada akhirnya ia harus layu, maka itu karena siklusnya atau karena gejala alam lain. Tak ada pilihan buat saya untuk berkelit kecuali mencoba merealisasikannya terlebih dahulu dan melihat hasilnya. Bebersih akan menjadi perusahaan yang profesional yang berorientasi profit karena kami akan selalu berusaha memberikan  kualitas jasa yang terbaik, di satu sisi, kami pun ingin selalu menjadi bagian dari solusi pemecah banyaknya pengangguran dan meningkatkan kualitas sektor informal di Depok, pada khususnya. Balai latihan kerja terpadu adalah salah satu alternatif. Yang ada dalam konsep adalah balai latihan kerja terpadu ini akan menjadi semacam yayasan pelatihan kerja di mana biaya-biaya operasionalnya tak hanya bersumber dari profit Bebersih, tetapi juga dari donasi kalangan-kalangan tertentu. Balai latihan kerja terpadu ini juga akan memaksimalkan peran pemuda dengan sistem volunteerism untuk mengurangi beban payroll tenaga profesional yang logisnya akan selalu meminta gaji di atas rata-rata.

Kami menemukan bahwa masalah pengangguran ini menjadi masalah yang krusial, terutama di Kota Depok sebagai salah satu kota tujuan urbanisasi selain daerah di Jabodetabek lainnya (Virdhani, Pengangguran di Depok Capai 70 Ribu Orang, 2012). Pemerintah berujar akan banyak menyelenggarakan kerja sama dengan pihak-pihak industri dalam acara job fair. Hal itu tidak bisa disalahkan sepenuhnya, tetapi akan lebih untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, harus ada peran dari masyarakat sipil dalam mendorong jumlah kewirausahaan.

Maka dari itu, dengan menjadi model hybrid, kami ingin berpartisipasi pada pembangunan masyarakat secara langsung. Secara pribadi penulis berharap agar apa yang dituliskan dalam esai ini dapat benar-benar diwujudkan. Tanpa adanya peran nyata dalam progresifitas solusi nyata dalam masyarakat, sebuah bisnis dan kewirausahaan tidak bisa dikatakan sebagai bisnis dan kewirausahaan sosial.

Sumber:

Nicholls, A. (Penyunt.). (2006). Social Entrepreneurship: New Models of Sustainable Social Changes. New York: Oxford University Press.

Redaksi Bisnis.com. (2012, Desember 12). Kontribusi Nyata Sektor Informal. Dipetik Maret 28, 2013, dari Bisnis.com: http://archive.bisnis.com/articles/editorial-bisnis-kontribusi-nyata-sektor-informal

Virdhani, M. H. (2012, Maret 5). Pengangguran di Depok Capai 70 Ribu Orang. Dipetik Maret 28, 2013, dari OkeZone.com: News & Entertainment: http://economy.okezone.com/read/2012/03/05/320/587537/pengangguran-di-depok-capai-70-ribu-orang

Yunus, M. (2007). Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of Capitalism. New York: PublicAffairs.

P.S. Esai ini memenangkan Juara 2 dalam National Essay Competition on Social Entrepreneurship Project "The Role of Social Business to Face the Development of Era" diselenggarakan oleh AIESEC Universitas Indonesia, April 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun