Mohon tunggu...
Gilang Satria Perdana
Gilang Satria Perdana Mohon Tunggu... Penulis - Bapak Rumah Tangga

Bila kita bisa mengumpulkan uang untuk membunuh orang, maka kita juga bisa mengumpulkan uang untuk menyelamatkan orang. (Tony Benn)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tisu Bakar

8 Agustus 2010   09:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:13 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya coba iseng di kamar kos. Tersedia korek yang saya beli sebulan lalu di stasiun UI seharga IDR2,500. saya tergoda untuk merokok tapi batin saya masih menolak. Maka saya membakar gumpalan tisu bekas pakai. Apa yang kulihat?
Percik api yang membakar bagian tisu itu memang cepat redup, tapi masih saja ada titik-titik api yang melumat tisu secara perlahan hingga bagian yang hangus melebar. Lumatan titik-titik api itu menimbulkan asap beraroma manis menusuk, khas bau asap bakaran kertas. Dan asap yang ditimbulkannya pun lumayan solid, panjang, dan agak tahan lama.

Seketika saya menemukan analogi baru: SEPERTI ITULAH HATI DAN CINTA SALING BEREAKSI.
Hati kita yang rapuh bagaikan gumpalan tisu, sedangkan cinta adalah percik apinya (sekarang saya baru paham arti kata "terbakar asmara"). Ketika cinta membakar hati kita (yang sama dengan tisu), kecepatan redup api tersebut ditentukan oleh posisi sudut bakar tisu. Api akan cepat membakar material tertentu dalam kemiringan tertentu, misalnya selembar kertas akan cepat terbakar bila posisi api berada pada salah satu sudut yang dimiringkan. Karena sifat api yang merayap dari bawah ke atas, api akan lebih tahan lama membakar suatu material tanpa bahan bakar tertentu (misalnya kerosin, dll).
Nah, posisi api yang membakar tisu ini sama dengan peristiwa sebuah hati ketika menerima sebuah cinta. Bila hati itu tetap diam dan tak mengubah posisinya agar cinta leluasa terus membakarnya, maka cinta akan cepat redup hingga akhirnya padam. Pada saat padam, ternyata masih tersisa percik-percik cinta yang melumat hati itu perlahan dan diam tapi menimbulkan aliran asap di udara yang beraroma menusuk. Saya rasa itulah kontradiksi yang tercipta ketika sebuah hati harus melepaskan cinta yang telah membakarnya. Ketika api masih membakar tisu, belum muncul asap sepekat dan semenusuk itu. Tapi ketika hanya sisa titik-titik api yang melumat tisu, timbul asap yang menusuk, seolah menjadi tanda bahwa proses ini akan diakhiri. Asap tercipta dari proses terberainya sebuah material solid atau liquid melalui berbagai macam cara, termasuk pembakaran. Proses pemberaian itu memang berjalan lancar, tapi tetap saja ada piihak yang tak rela. Selayaknya manusia yang harus menghadapi perpisahan terhadap manusia lainnya. Terlebih orang yang dicintai, bagaimanapun caranya.

Kini, saya menjadi ingin tahu. Imaji apa yang mulai terbentuk dalam kepalamu?
Apapun dan siapapun yang terlintas begitu selesai membaca tulisan ini, maka bersyukurlah atas api yang tetap melumat hatimu, atau asap yang tertinggal. Tanpa keduanya, hatimu tak akan pernah terasa hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun